Selasa, 27 Desember 2016

Definisi Kurikulum



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Definisi Kurikulum
Perkataan kurikulum dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan sejak kurang lebih satu abad yang lampau. Perkataan ini belum terdapat dalam kamus Webster tahun 1812 dan baru timbul untuk pertama kalinya dalam kamus pada tahun 1856. Artinya pada waktu itu ialah: “1. a race course; a place for running; a chariot;. 2. a course in general; applied particulary to the course of study in a university”. Jadi dengn “kurikulum” yang dimaksud adalah suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari atau kereta dalam perlombaan, dari awal sampai akhir. “kurikulum” juga berarti “chariot” semacam kereta pacu pada zaman dulu, yaitu suatu alat yang membawa seorang dari “start” sampai “finis”. Disamping penggunaan “kurikulum” semula dalam bidang olahraga, kemudia juga dipakai dalam bidang pendidikan, yakni sejumlah mata kuliah diperguruan tinggi.
Dalam kasus Webster tahun 1955 “kurikulum” diberi arti khusus yang digunakan dalam pendidikan dan pengajaran, yakni sejumlah mata pelajaran di sekolah atau mata kuliah di perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat. “Kurikulum” juga berarti keseluruhan pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga pendididikan.
A.1 Beberapa Definisi Kurikulum
Seperti telah dikemukakan diatas, perubahan zaman menuntut kurikulumbaru dan sering juga pengertian baru mengenai makna kurikulum itu sendiri. perubahan zaman memberi tugas-tugas baru kepada sekolah, diantaranya tugas-tugas yang sedia kala dipikul oleh lembaga-lembaga lain seperti rumah tangga, pemerintah, petugas agama, dll. Dengan bertambahnya tanggungjawab sekolah timbulah berbagai macam definisi kurikulum, seingga semakin sukar memastikan apakah sebenarnya kurikulum itu. Akhirnya, setiap pendidik, setiap guru harus menentukan sendiri apakah kurikulum itu bagi drinya. Pengertian yang dianut oleh seseorang kan mempengaruhi kegiatan belajar-mengajar dalam kelas maupun diluar kelas.
Dibawah ini sejumlah definisi kurikulum menurut beberapa ahli kurikulum
1.      J. Galen Saylor dan William M. Alexander dalam buku Curriculum Planning for Better Teaching and Learning (1956) menjelaskan arti kurikulum sebagi berikut. “The Curicullum is the sum total of the school’s efforts to incluence learning, wheter in the classroom, on the playground, or out of school.” Jadi, segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar, apakah dalam ruangan kelas, dihalaman sekolah atau diluar sekolah termasuk kurikulum. Kurikulum meliputti juga apa yang disebut kegitan ekstra-kulikuler
2.      Harold B. Albertycs.dalam Reorganizing the High-School Curicullum (1965) memandang kurikulum sebagai “all of the activites that are provided for students by the school”. Seperti halnya dengan definisi Saylor dan Alexander, kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran, akan tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain, didalam dan diluar kelas, yang berada dibawah tanggung jawab sekolah. Definisi melihat manfaat kegiatan dan pengalaman siswa diluar mata pelajaran tradisonal
3.      B. Othanel Smith, W.O Stanley, danJ. Harlan Shores memandang bahwa kurikulum sebagai “a sequence of potential experinces set up in te school for the purpose of disclipining children and youth in group ways of thinking and acting.” Mereka melihat kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial dapat diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka dapat berpikir an berbuat sesuai dengan masyrakatnya.
4.      William B.Ragan, dalam buku Modern Elementary curriculum (1966) menjelaskan arti kurikulum sebagai “The tendency in recent decades has been to ude the termin in a boarder sense to refer to the whole life and program of the school.  The term is used…….to included all the experiences of children  for which the school accept responsibility. It denotes the results of efforts on the part of re adults of the community, and the nation to bring to the children the finest, most whole some incluences that exits in the culture.”
Ragan menggunakan kurikulum dalam arti yang luas, yang meliputi selurh program dan kehidupan dalam sekolah, yakni segala pengalaman anak dibawah tanggungjawab sekolah. Kurikulum tidak hanya meliputi bahan pelajaran tetapi juga meliputi kehidupan dalam kelas. Jadi hubungan sosial antar guru dan murid, metode mengajar, cara mengevaluasi termasuk kurikulum.
5.      Joy. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller dalam buku secondary School Improvemant (1973) juga menganut definisi kurikulum yang luas. Menurut mereka dalam kurikulum juga termasuk metode mengajar dan belajar, cara mengevluasi murid dan seluruh program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervise dan administrasidan hal-hal structural mengenai waktu, jumlah ruanagan serta kemungkinan memilih mata pelajaran. Ketiga aspek  pokok, program, manusia dan fasilitas sangat erat hubungannya sehingga tak mungkin diadakan perbaikan kalau tidak diperhatikan ketiga-tiganya.
6.      Alice Miel juga menganut pendirian yang luas mengenai kurikulum. Dalam bukunya Changing the Curicullum : a Social Process (1946) ia mengemukakan bahwa kurikulum juga meliputi kadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan, pengetahuan dan sikap-sikap orang melayani dan dilayani sekolah, yakni anak didik, masyarakat, para pendidik dan personalia 9termasuk penjaga sekolah, pegawai administrasi dan orang lainnya yang ada hubungnnya dengan murid-murid). Jadi kurikulum meliputi segala pengalaman di sekolah. Definisi  Miel tentang kurikulum sangat luas yang mencakup dan meliputi bukan hanya pengetahuan, kecakapan, kebiasaan-kebiasaan, sikap, apresiasi, cita-cit serta norma-norma, melainkan juga pribdi guru, kepala sekolah, serta seluruh pegawai sekolah.
Tak semua ahli kurikulum menganut pendirian yang begitu luas. Hilda Taba berpendapat bahwa definisi yang terlampau luas mengaburkan pengertian kurikulum sehingga menghalangi pemikiran dan pengolahan yang tajam tentang kurikulum. Hilda taba mengungkapkan, bahwa pada hakikatnya tiap kurikulum merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar berpartisipasi sebagi anggota yang produktif dalam masyarakatnya.
7.      Edward A. Krug dalam The Secondary School Curicullum (1960) menunjukkan pendirian yang terbatas tetapi realistis tentang kurikulum. Definisinya ialah “A Curricullum Consist of the means used to achieve or carry out given purposes of schooling”. Kurikulum dilihatnya sebgai cara-cara dan usaha untuk mencapaitujuan persekolahan. Ia membedakan tugas sekolah mengenai perkembangan anak dan tanggung jawab lembaga pendidikan lainnya seperti rumah tangga, lembaga agama, masyarakat, dll. Ia dengan sengaja menggunakan istilah “zchooling” untuk menjelaskan apa yang sebenarnya tugas sekolah. Memborong segala tanggung jawab atas pendidikan anak merupakan beban yang terlampau berat sehingga tidak mungkin dilakukan dengan baik.
A.2 Definisi Kurikulum secara luas
Berbagai tafsiran tentang kurikulum dapat kita tinjau dari segi lain, sehingga kita peroleh penggolongan sebagai berikut :
Ø  Kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para pengembang kurikulum, biasanya dalam suatu panitia
Ø  Kurikulum dapat pula dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakukan oleh sekolah untuk mencapai tujuannya.
Ø  Kurikulum dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu. Apa yang diharapkan akan dipelajari tidak sealu sama dengan apa yang benar-benar dipelajari
Ø  Kurikulum sebagai pengalaman siswa. Ketiga pandangan diatas berkenaan dengan perencanaan kurikulum sedangkan pandangan ini mengenai apa yang secara actual menjadi kenyataan pada tiap siswa.

B.  Konsep Kurikulum

        i.            Kurikulum Sebagai Rencana Pelajaran
Konsep kurikulum sebagai suatu program atau rencana pembelajaran, tampaknya diikuti oleh para ahli kurikulum dewasa ini, seperti Donald E. Orlosky dan B. Othanel Smith (1978) dan Peter F. Oliva (1982), yang menyatakan bahwa kurikulum pada dasarnya adalah suatu perencanaan atau program pengalaman siswa yang diarahkan sekolah.
       Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya juga sejalan dengan rumusan kurikulum menurut Undang-Undang pendidikan kita yang dijadikan sebgai acuan dalam penyelenggaraan sistem pendiidkan. Menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dikatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana  dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Yang dimaksud dnegan isi dan bahan pelajaran itu sendiri adalah susunan dan bahan kajian dan peljaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan suatu pendidiakan yang bersangkutan dalam rangka upaya mencapai tujuan pendidikan nasional.
       Batasan menurut undang-undang itu tampak jelas, bahwa kurikulum memiliki dua aspek pertama sebagai rencana (as a plan) yang harus dijadikan sebgai pedoman dalam pelaksanaan proses belajar mengajar oleh guru dan kedua pengaturan isi dan cara pelaksanaan rencana itu yang keduanya digunakan sebgai upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
      Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis memang mudah dipahami, sebab knsep itu jelas sasarannya dan mudah untuk diukur akan tetapi, konsep yang terlalu sempit juga dianggap tidak menguntungkan. Hal ini seperti dikemukakan oleh Zeis (1976) jika kita ingin mengevaluasi kurikulum, kita tidak hanya mengevaluasi rencana saja, tetapi mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan kurikulum tertulis itu pada peserta didik. Oleh karena itu kurikulum tidak hanya menyangkut rencana akan tetapi bagaimana pelaksanaan rebcana itu. Jadi, antara kurikulum sebagai sebuah rencana dengan kuurikulum sebagai sebuiah pernyataan tidak dapat dipisahkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Murray Print (1993) menyatakan :“Curriculum is defined as all the palnned learning opportunities offered to learner by the educational institution and the expreriences learners encounter when the curriculum is implemented”.
Perlu kita pahami, bahwa sekolah didirikan untuk membimbing peserta didik agar berkembang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Ini berarti titik sentral kurikulum adalah anak didik itu sendiri. Perkembangan anak didik akan tercapai apabila dia memperoleh pengalaman belajar melalui kegiatan yang disajikan sekolah, baik melalui mata pelajaran maupun kegiatan lainnya. Oleh karena itu seperti yang dikatakan Zais, kurikulum sebgai suatu rencana pembelajaran harus bermuara pada perolehan pengalaman peserta didik yang sengaja dirancang untuk mereka miliki. Akhirnya kita simak juga pendapat Skill Beck dan Harris (1976) yang menyatakan  bahwa kurikulum bukanlah materi pelajaran yang terpisah yang harus disampaikan dan dipelajari melainkan bentuk pengalaman dan kebudayaan individu yang harus dipelihara dan dimodifikasi.  Dengan demikian, dalam kurikulum harus mencakup dua sisi yang sama penting, yaitu perencanaan pembelajaran serta bagaimana perencanaan iytu diimplementasikan menjadi pengalaman belajar siswa dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.
       Kurikuum dapat diartikan sebagai sebuah dokimen perencanaan yang berisi tentang tujuan yang harus dicapai, isi materi dan pengalaman belajar yang harus dilakukan siswa, strategi dan cara yang dapat dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang pencapian tujuan, serta implementasi dari dokumen yang dirancang dalam bentuk nyata. Dengan demikian, pengembangan kurikulum meliiputi penyusunan dokumen, implementasi dokumen serta evaluasi dokumen yang telah disusun.
      ii.            Kurikulum Sebagai Pengalaman
       Banyak tokoh yang menganggap kurikulum sebagai pengalaman, di antaranya adalah Hollis L. Caswell dan Campbell (1935), yang menyatakan bahwa kurikulum adalah “... all of the experiences children have under the guidance of teacher”. Demikian juga dengan Dorris Lee dan Murray Lee (1940) yang menyatakan kurikulum sebagai : “... those experience of the child which the school in any way utilizes or attempts in influence”. Lebih jelas lagi dikemukakan oleh H. H. Giles, S. P McCutchen, dan A.N. Zechiel: “... the currriculum..the total experience with which the school deals in educating young people”.
        Pergeseran pemaknaan kurikulum dari sejumlah mata pelajaran kepada pengalaman, selain disebabkan meluasnya fungsi dan tanggung jawab sekolah, juga dipengaruhi oleh penemuan-penemuan dan pandangan-pandangan baru khususnya penemuan dalam bidang psikologi belajar. Pandangan baru dlam ppsikologi menganggap bahwa belajar itu bukan mengumpulkan sejumlah pengetahuan, akan tetapi proses perubahan perilaku siswa. Dengan demikian, siswa telah belajar manakala telah memiliki perubahan perilaku. Tentu saja perubahan perilaku itu akan terjadi manakala siswa memiliki pengalaman belajar. Oleh sebba itu dalam proses belajar, pengalaman dianggap lebih penting daripada hanya sekedar menumpuk sejumlah pengteahuan.
       Kalaulah kurikulum dianggap sebagai pengalaman atau seluruh aktivitas siswa, maka untuk memahami kurikulum sekolah tidak cukup hanay dengan melihta dokumen kurikulum sebgai suatu program tertulis, akan tetapi juga bagaimana proses pembelajaran dilakukan anak didik baik disekoalah maupun diluar sekolah. Hal ini harus dipahami, sebab kaitannya sangat erat dengan evaluasi keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu bahwa pencapaian target pengalaman belajar kurikulum tidak hanya diukur dari kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau materi pelajaran seperti yang tergambar dari hasil tes sebagai produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat proses atau kegiatan siswa sebagai pengalaman belajar.
       Bagaimana menentukan dan mengukur pengalaman belajar itu? Bukanlah pekerjaan sederhana. Segala bentuk perilaku siswa merupakan hasil dari pengalamannya yang tidak mungkin dapat dikontrol guru. Oleh sebab itu, kurikulum sebagai suatu pengalaman dianggap bebrapa ahli sebagai konsep yang luas. Dan karena keluasannya itulah maka makna kurikulum menjadi kabur dan tidak fungsional.
    iii.            Kurikulum Sebagai Hasil Belajar
Evaluasi (penilaian) hasil belajar siswa merupakan salah satu kegiatan manajemen kurikulum. Evaluasi berguna dan bertujuan untuk mendapatkan umpan balik (feed back) bagi pendidik tentang sejauh mana tujuan instruksional (pengajaran) telah tercapai, sehingga dapat diketahui apakah guru masih harus memperbaiki langkah-langkah yang ia tempuh dalam kegiatan mengajar.
Bagi siswa, hasil evaluasi akan menunjukkan kepada mereka betapa keberhasilan mereka dalam kegiatan belajar yang pernah mereka lakukan. Secara garis besar, evaluasi belajar di sekolah dapat dibedakan atas:
1. Tes Formatif, evaluasi/ penilaian berupa tes (soal-soal, pertanyaan) yang dilakukan setelah satu pokok bahasan selesai dipelajari
2. Tes Sumatif, evaluasi/ penilaian berupa tes (soal-soal, pertanyaan) yang dilakukan setelah kegiatan belajar mengajar berlangsung dalam jangka waktu tertentu. Misalnya setelah satu caturwulan atau satu semester.
Tes hasil belajar berguna membantu siswa dalam mengambil keputusan tentang rencana pendidikan dan membantu sekolah menilai berbagai aspek kurikulum yang menggambarkan kemajuan belajar siswa.Kurikulum dan hasil belajar merupakan salah satu komponen kurikulum berbasis kompetensi yang memuat kompetensi dasar, hasil belajar dan indikator. Kompetensi dasar adalah, pernyataan yang diharapkan dapat diketahui, disikapi dan dilakukan siswa. Hasil belajar adalah, pernyataan kemampuan siswa yang diharapkan dalam menguasai sebagian atau seluruh kompetensi yang ditetapkan. Indikator adalah, kompetensi dasar secara spesifik yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai ketercapaian hasil pembelajaran.
Menurut Mc. Ashan, kompetensi adalah suatu pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan atau kapabilitas yang dimiliki oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga mewarnai prilaku kognitif, afektif dan psikomotoriknya.Dari pendapat ini, maka jelaslah suatu kompetensi harus didukung oleh pengetahuan, sikap dan apresiasi, artinya tanpa pengetahuan dan sikap tidak mungkin muncul suatu kompetensi tertentu.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Gordon (1988), menjelaskan beberapa aspek yang harus terkandung dalam kompetensi, yaitu:
1.      Pengetahuan (knowledge)
2.      Pemahaman (understanding)
3.      Ketrampilan (skill)
4.      Nilai (value)
5.      Sikap (attitude)
6.      Minat (interest)
Dari uraian di atas, maka kompetensi bukan hanya ada dalam tataran pengetahuan akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambar dalam pola prilaku.
Hasil belajar siswa diklasifikasikan ke dalam tiga ranah (domain), yaitu:
1. Ranah (domain) Kognitif, pengetahuan yang mencakup kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika.
2. Ranah (domain) Afektif, sikap dan nilai yang mencakup kecerdasan antar pribadi, dengan kata lain kecerdasan emosional
3. Ranah (domain) Psikomotor, ketrampilan yang mencakup kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spasial dan kecerdasan musikal.
Cara penilaian yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa harus dirancang dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1.        Mengacu pada kurikulum
2.        Bersifat adil bagi seluruh siswa
3.        Dapat memberi informasi yang lengkap sebagai umpan balik
4.        Bermanfaat bagi siswa untuk mengetahui kekuatan dan kelemahannya
5.    Dilaksanakan tanpa menekan siswa atau dalam suasana yang menyenangkan.
6.        Diadministrasi secara tepat dan efesien
Evaluasi hasil belajar dapat dilakukan dengan penilaian kelas, tes kemampuan dasar, penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi serta penilaian program. Kurikulum berbasis kompetensi akan berhasil dilaksanakan jika diterapkan pola belajar aktif karena pola ini mampu mengembangkan seluruh kompetensi secara optimal. Jika pola ini diterapkan, beragam cara dan alat penilaian harus pula diterapkan, terutama cara-cara unjuk kerja, produk, portopolio dan tingkah laku.

C.    DIMENSI KURIKULUM
Setiap pengertian kurikulum bukan hanya menunjukkan rumusan definisi dalam bentuk pernyataan atau pernyataan tanpa makna, tetapi juga menggambarkan scope and squences isi kurikulum, komponen-komponen kurikulum, dan aspek-aspek kegiatan kurikulum. William H.Schubert (1986), merinci pengertian kurikulum dalam berbagai dimensi, yaitu “kurikulum sebagai content atau subject matter, kurikulum sebagai program of planned activites, kurikulum sebagai  intended learning outcomes, kurikulum sebagai cultural reproduction, kurikulum sebagai  experience, kurikulum sebagai  discrete tasks and concepts, kurikulum sebagai  agenda for social reconstruction, dan kurikulum sebagai  currere”.
George A. Beauchamp (1975) berpendapat ada empat kurikulum yang saling berhubungan yaitu “kurikulum suatu ide atau konsepsi, kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses), dan kurikulum sebagai suatu hasil belajar”. Dari beberapa pendapat tersebut dapat di simpulkan bahwa paling tidak ada enam dimensi kurikulum, yaitu:
1.      Kurikulum sebagai suatu ide
Ide atau konsep kurikulum bersifat dinamis, dalam arti akan selalu berubah mengikuti perkembangan zaman, minat dan kebutuhan peserta didik, tutuntutan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Ide atau  gagasan tentang kurikulum hanya ada dalam pemikiran seseorang yang terlibat dalam proses pendidikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti Kepala Dinas Pendidikan, pengawas, kepala sekolah, guru, peserta didik, orng tua dan sebagainya. Ketika orang berfikir tentang tujuan sekolah, materi  yang harus di sampaikan kepada peserta didik, objek evaluasi , maka itulah dimensi kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi. Ide atau konsep kurikulum  setiap orang tentu berbeda , sekalipun orang tersebut berada dalam satu keluarga. Dimensi kurikulum sebagai suatu ide, biasanya dijadikan langkah awal dalam pengembangan kurikulum, yaitu ketika melakukan studi pendapat. Dari sekian banyak ide-ide yang berkembang dalam studi pendapat tersebut, maka akan di pilih dan di tentukan ide-ide mana yang di anggap paling kreatif, inovatif dan konstruktif sesuai dengan visi misi dan tujuan pendidikan nasional.
 Pemilihan ide-ide tersebut  akan di pilih dalam sebuah pertemuan konsultatif berdasarkan tingkat penggambilan keputusan yang tinggi. Di Indonesia, pengambilan keputusan yang tertinggi adalah Mentri Pendidikan Nasional. Beliau juga sebagai penentu kebijakan kurikulum yang berlaku secara nasional. Ide-ide mendiknas dituangkan dalam sebuah kebijakan umum sampai menjadi dimensi kurikulum sebagai rencana.
2.      Kurukulum sebagai suatu rencana tertulis
Dimensi kurikulum sebagai rencana biasanya tertuang dalam suatu dokumen tertulis. Dimensi ini menjadi banyak perhatian orang, karena wujudnya dapat di lihat, mudah di baca dan di analisis. Dimensi kurikulum ini pada dasarnya merupakan realisasi dari dimensi kurikulum sebagai ide. Aspek-aspek penting yang harus di bahas antara lain :
a.       Pengembangan tujuan dan kompetensi
b.      Struktur Kurikulum
c.       Kegiatan dan Pengalaman Belajar
d.      Organisasi Kurikulum
e.       Manajemen Kurikulum
f.       Hasil Belajar
g.      Sistem Evaluasi
Kurikulum sebagai ide harus mengikuti pola dan ketentuan-ketentuan kurikulum sebagai rencana. Dalam peraktiknya, seringkali kurikulum sebagai rencana dapat mengalami kesulitan, karena ide-ide yang ingin di sampaikan terlalu umum dan banyak yang tidak di mengerti oleh para pelaksana kurikulum.
3.      Kurikulum sebagai suatu kegiatan
Kurikulum sebagai dimensi ini merupakan kurikulum yang sesungguhnya terjadi di lapangan (real curriculum). Banyak ahli kurikulum yang masih mempertentangkan dimensi ini, dalam arti apakah suatu kegiatan termasuk kurikulum atau bukan. Misalnya, MacDonald (1965), Jhonson (1971), Popham dan Baker (1970), Inlow (1973), dan Beauchamp, kurikulum adalah dukumen yang masuk dalam dimensi rencana, sedangkan ahli lainnya melihat kurikulum sebagai hasil belajar. banyak juga ahli kurikulum lain mengatakan suatu kegiatan atau proses termasuk kurikulum, seperti Frost dan Rowland (1969), Zais (1976), Egan (1978), Hunkins (1980), Tanner and Tanner (1980), serta Schubert (1986).
Kurikulum harus di maknai dalam suatu kesatuan yang utuh. Jika suatu kegiatan tidak termasuk kurikulum berarti semua kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah tidak termasuk kurikulum. Padahal yang di peroleh peserta didik di sekolah maupun di luar sekolah merupakan refleksi dan realisasi dari dimensi kurikulum sebagai suatu rencana tertulis. Apa yang di lakukan peserta didik di kelas juga merupakan impelmentasi kurikulum. Artinya antara kurikulum sebagai ide dengan kurikulum sebagai kegiatan (proses) merupakan suatu rangkaian yang berkesinambungan, suatu kesatuan yang utuh. Tidak ada alasan untuk mengatakan dimensi kurikulum sebagai suatu kegiatan bukan merupakan kurikulum, karena semua kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah merupakan dari kurikulum.

4.      Kurikulum sebagai hasil belajar
Hasil belajar adalah kurikulum tetapi kurikulum bukah hasil belajar. Pernyataan ini perlu dipahami sejak awal, karena banyak orang tau bahwa hasil belajar merupakan bagian dari kurikulum, tetapi kurikulum bukan hanya hasil belajar. Banyak orang yang tidak tahu bahwa pengertian kurikulum dapat di lihat dari dimensi hasil belajar, karena memang tidak di rumuskan secara formal. Hasil belajar bukan satu-satunya objek evaluasi kurikulum. namun demikian, hasil belajar dapat di jadikan sebagai salah satu dimensi pengertian kurikulum. Evaluasi kurikulum ditunjukan untuk mengetahui efektifitas dan efesiensi kurikulum, sedangkan fungsinya adalah untuk memperbaiki, menyempurnakan atau mengganti kurikulum dalam dimensi sebagai rencana. Hasil belajar sebagai bagian dari kurikulum terdiri atas berbagai dominan, seperti pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai. Secara teoristis hasil belajar juga dapat di pengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor guru, peserta didik, sumber belajar, dan lingkungan. Menurut Zaenal Arifin (2009) hasil belajar memiliki beberapa fungsi utama, yaitu “sebagai indicator kualitas dan kuantitas pengetahhuan yang telah di kuasai oleh peserta didik, sebagai lambing penguasaan hasrat ingin tahu, sebagai bahan informasi dan inovasi pendidikan, sebagai indicator interen dari suatu institusi pendidikan, dan dapat di jadikan indicator terhadap daya serap (kecerdasan) peserta didik.”
5.      Kurikulum sebagai suatu disiplin ilmu
Sebagai suatu disiplin ilmu, berarti kurikulum memiliki konsep, prinsip, prosedur, asumsi,dan teori yang dapat di analisis dan di pelajari oleh pakar kurikulum , peneliti kurikulum, guru atau calon guru, kepala sekolah, pengawas atau tenaga kependidikan lainnya yang ingin mempelajari tentang kurikulum.
6.      Kurikulum sebagai suatu system
Sistem kurikulum merupakan bagian tak terpisahkan dari system pendidikan, system persekolahan dan system masyarakat. suatu system kurikulum di sekolah merupakan system tentang kurikulum apa yang akan di susun dan bagaimana kurikulum itu di laksanakan. dapat di katakana bahwa system kurikulum mencakup tahap-tahap pembangunan kurikulum itu sendiri, mulai dari perencanaan kurikulum, pelaksannaan kurikulum, evaluasi kurikulum, perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Kurikulum sebagai suatu system juga menggambarkan tentang komponen-komponen kurikulum.
D.  Fungsi Kurikulum
Di samping memiliki peranan, kurikulum juga mengemban berbagai fungsi tertentu. Alexander Inglis, dalam bukunya Principle of Secondary (1918), mengatakan bahwa kurikulum berfungsi sebagai fungsi penyesuaian, fungsi pengintegrasian, fungsi deferensiasi, fungsi persiapan, fungsi pemilihan, dan fungsi diagnostik.
o   Fungsi Penyesuaian
Fungsi penyesuaian mengandung makna kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar memiliki sifar well adjusted 11 yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
o   Fungsi Integrasi
Fungsi integrasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh. Siswa pada dasarnya merupakan anggota dan bagian integral masyarakat.ke jenjang yang lebih tinggi.
o   c. Fungsi Diferensiasi
Mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan layanan terhadap perbedaan individusiswa. Setiap siswa memiliki perbedaan baik dari aspek fisik maupun psikis.
o   Fungsi persiapan
Mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memprsiapkan siswa melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih.
o   Fungsi pemilihan
Mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih program-program belajar yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Fungsi pemilihan ini sangat erat kaitannya dengan fungsi diferensiasi karena pengakuan atas adanya perbedaan individual siswa berarti pula diberinya kesempatan bagi siswa tersebut untuk memilih apa yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.
Fungsi diagnostik
Mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat memahami dan menerima potensi dan kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya. Maka diharapkan siswa dapat mengembangkan sendiri potensi yang dimilikinya aau memperbaiki kelemahan-kelemahannya.
E.   Peranan Kurikulum
Sebagai program pendidikan yang telah di rencanakan secara sistematis, kurikulum mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan siswa. Apabila di analisis sifat dari masyarakat dan kebudayaan, dengan sekolah sebagai institusi sosial dalam melaksanakan operasinya,maka dapat di tentukan paling tidak tiga peranan kurikulum yang sangat penting yakni :
1)      Peranan Konservatif
Salah satu tugas dan tanggung jawab sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan adalah mewariskan nilai-nilai dan budaya masyarakat kepada generasi muda yakni siswa. Siswa perlu memahami dan menyadari norma-norma dan pandangan hidup masyarakatnya, sehingga ketika mereka kembali ke masyarakat mereka dapat menjunjung tinggi dan berperilaku sesuai dengan norma-norma tersebut. Peran konservatif kurikulum adalah melestarikan berbagai nilai budaya sebagai warisan masa lalu. Dikaitkan dengan era globalisasi sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memungkinkan mudahnya pengaruh budaya asing menggerogoti budaya lokal, maka peran konservatif dalam kurikulum memiliki arti yang sangat penting. Melalui peran konservatifnya, kurikulum berperan dalam menangkal berbagai pengaruh yang dapat merusak nilai-nilai luhur masyarakat, sehingga keajegan dan identitas masyarakat akan tetap terpelihara dengan baik. Peranan ini menekankan bahwa kurikulum dapat dijadikan sebagai sarana untuk mentransmisikan nilai-nilai warisan budaya yang dianggap masih relevan dengan masa kini kepada generasi muda, dalam hal ini para siswa.
2)      Peranan Kreatif
Apakah tugas dan tangung jawab sekolah hanya sebatas pada mewariskan nilai-nilai lama? Ternyata juga tidak. Sekolah memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan hal-hal baru sesuai dengan tuntunan zaman. Sebab, pada kenyataannya masyarakat tidak bersifat statis, akan tetapi dinamis yang selalu mengalami perubahan. Dalam rangka inilah kurikulum memiliki peran kreatif. Kurikulum harus mampu menjawab setiap tantangan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang cepat berubah. Dalam peran kreatifnya, kurikulum harus mengandung hal-hal baru sehingga dapat membantu siswa untuk dapat mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya agar dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat yang senan tiasa bergerak maju secara dinamis. Mengapa kurikulum harus berperan kreatif? Sebab, manakala kurikulum tidak mengandung unsur-unsur baru maka pendidikan selamanya akan tertinggal, yang berarti apa yang diberikan di sekolah pada akhirnya akan kurang bermakna, karena tidak relevan lagi dengan kebutuhan dan tuntutan sosial masyarakat.
Dalam proses pengembangan kurikulum ketiga peran di atas harus berjalan secara seimbang. Kurikulum yang terlalu menonjolkan peran konservatifnya cenderung akan membuat pendidikan ketinggalan oleh kemajuan zaman; sebaliknya kurikulum yang terlalu menonjolkan peran kreatifnya dapat membuat hilangnya nilai-nila budaya masyarakat.
Sesuai dengan peran yang harus ”dimainkan” kurikulum sebagai alat dan pedoman pendidikan, maka isi kurikulum harus sejalan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Mengapa demikian? Sebab, tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan pada dasarnya mengkristal dalam pelaksanaan perannya itu sendiri. Dilihat dari cakupan dan tujuannya menurut McNeil (1990) isi kurikulum memiliki empat fungsi, yaitu 1) fungsi pendidikan umum (Common and General Education). 2) Suplementasi (Supplementation), 3) Eksplorasi (Esploration) dan 4). Keahlian (Specialization). Peranan kreatif menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan masa mendatang.
3)      Peranan Kritis dan Evaluatif
Apakah setiap nilai dan budaya lama harus diwariskan kepada setiap anak didik? Apakah setiap nilai dan budaya baru sesuai dengan perkembangan zaman juga harus dimiliki oleh setiap anak didik ? Tentu tidak. Tidak setiap nilai dan budaya lama harus tetap dipertahankan, sebab kadang-kadang nilai dan budaya lama itu sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat; demikian juga ada kalanya nilai dan budaya baru itu juga tidak sesuai dengan nilai-nilai lama yang masih relevan dengan keadaan dan tuntutan zaman. Dengan demikian kurikulum berperan untuk menyeleksi nilai dan budaya mana yang perlu dipertahankan, dan nilai atau buadaya baru yang mana yang harus dimiliki anak didik. Dalam rangka inilah peran kritis dan evaluatif kurikulum diperlukan. Kurikukum harus berperan dalam menyeleksi dan mengevaluasi segala sesuatu yang dianggap bermanfaat untuk kehidupan anak didik. Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan, sehingga pewarisan nilai-nilai dan budaya masa lalu kepada siswa perlu disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada masa sekarang.


DAFTAR PUSTAKA

Hamalik, Oemar. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung. PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011
Nasution, S. Asas-asas Kurikulum. Jakarta. Bumi Aksara. 2008
Sanjaya, Wina. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta. KENCANA PRENADA GROUP. 2010
Arifin, Zainal (2013), Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Cetakan Ke-3, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar