Senin, 26 Desember 2016

Filsafat Ilmu dan Metodologi penelitian


Filsafat Ilmu dan Metodologi penelitian
Dalam buku Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian saya membaca tentang manusia sebagai makhluk berfikir. Hakikat pribadi manusia itu sendiri alah manusia sebagai makhluk Tuhan yang otonom, berarti sebagai pribadi yang tersusun atas kesatuan harmonis jiwa raga dan eksisi sebagai individu yang memasyarakat. Manusia lahir dalam keadaan serba misterius, artinya sangat sulit mengetahui mengapa, bagaimana, dan untuk apa kelahirannya itu, yang pasti diketahui ialah bahwa manusia dilahirkan oleh Tuhan melalui manusia lain (orang tua). Kehadirannya kedunia seperti buku tanpa bab pendahuluan dan penutup, ia hanya menghadapi isinya saja dan ia hanya menyusun sendiri bab pendahuluan dan penutupnya itu berdasarkan fakta yang tersirat dalam lembaran-lembaran isisnya.
Bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk yang lemah, yang keberadaannya sangat tergantung kepada penciptanya, akan tetapi kebergantungan terhadap sang pencipta tersebut bukanlah semata-mata melainkan kebergantungan yang berkeluasan. Manusia menerima ketergantungan itu dengan otonomi, indepedensi, serta kreatifitasnya sedemikian rupa sehingga mampu mempertahankan dan mengembangkan hidup dan kehidupannya. Dengan otonomi dan kreatifitasnya, segala hal dan puji kepada sang pencipta diwujudkan dalam bentuk usaha mengatasi segala macam problem hidup. Manusia juga berperan sebagai makhluk yang berjiwa raga, dan unsur jiwa dan raga manusia bukanlah hal yang berdiri sendiri, tetapi berada di dalam satu struktur yang menyatu menjadi diri pribadi. Sehingga diri pribadi manusia adalah jiwa yang meraga dan raga yang menjiwa, artinya jiwa menyatu dengan raga dan raga menjadi satu dengan jiwa. Kejiwaan seseorang akan terlihat dari tingkah laku badannya dan badan seseorang itu akan mencerminkan jiwanya.
Jiwa yang menjadi satu dengan raga, yaitu jiwa yang maujud dalam bentuk raga. Dalam jiwa ada unsur yang sering dikenal dengan tri-potensi kejiwaan, yaitu cipta, rasa dan karya. Raga yang menjadi satu dengan jiwa adalah suatu kecenderungan fenomena badan yang menjadi bersifat kejiwaan. Jiwa manusia tidak sama dengan jiwa hewan, jiwa manusia adalah berkesadaran, sadar akan dirinya, sadar akan sesamanya, sadar akan dunianya, dan sadar akan asal mula dan tujuannya. Manusia sebagai makhluk individu yang memasyarakat. Kedudukan manusia sebagai individu dan anggota masyarakat juga berada dalam satu struktur kesatuan. Manusia berperan sebagai makhluk individu yang masyarakat sekaligus makhluk sosial yang mengindvidu, manusia sejak diciptakan keberadaannya dan hidupnya hanya bisa bergantung kepada pihak lain. Hukum alam ini merupakan realitas yang tak dapat dihindarkan akan tetapi, sebagai individu yang berdiri pribadi, manusia memiliki otonomi dan kebebasan jiwa, yang berhak berbuat atau tidak berbuat.
Setiap orang menyelenggarakan hidup dan mengembangkan kehidupannya dengan cara menghubungkan dan meningkatkan diri masing-masing sehingga kelebihan dan kekurangan yang ada bisa diberikan kepada dan diterima orang lain, masyarakat akan berkembang menurut jenis, bentuk dan sifat kebutuhannya. Manusia mempunyai ciri yang istimewa, yaitu kemampuan berfikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya (sehingga sering disebut dengan makhluk yang berkesadaran), pengenalan manusia terhadap segala sesuatu disekelilingnya diawali secara represif makanan, minuman, pakaian dan lain-lain. Selanjutnya dikenal pula orang tua, saudara dan orang lain dalam hubungan yang semakin jauh, berkat perkembangan alam pikiran dan kesadarannya, manusia mulai mengenal makna masing-masing secara kritis. Selanjutnya dengan pemikirannya yang kritis dan kreatif manusia memikirkam dirinya sendiri yaitu hakikatnya sebagai manusia.
Hakikat manusia adalah makhluk Tuhan yang eksis dalam diri pribadinya yang otonom, berjiwa raga dan berada dalam sifat hakikatnya sebagai makhluk individu yang memasyarakat. Kemudian ia sadar akan perlunya pemecahan segala masalh tersebut demi tercapainya tujuan hidupnya, untuk itulah manusia selalu berusaha meningkatkan kualitas pemikirannya dari yang mistis religius menuju ke ontologis-kefilsafatan, sampai akhirnya kepada taraf yang paling konkrit-fungsional. Terhadap diri sendiri, manusia mulai bersikap teknis, mengfungsikan dirinya sepragmatis mungkin demi dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar