Senin, 26 Desember 2016

Kirtik Atas Akal Budi Praktis


Kirtik Atas Akal Budi Praktis
Prinsip-prinsip praktis adalah proposisi-proposisi yang berisi ketentuan umum kehendak, yang memiliki beberapa aturan praktis. Prinsip-prinsip itu bersifat subjektif, ketika kondisi ini oleh subjek dianggap sahih hanya bagi kehendaknya sendiri. Prinsip-prinsip itu bersifat objektif, merupakan hukum praktis, ketika kondisi tersebut oleh diketahui objek, yakni sahih untuk kehendak setiap makhluk rasional.
Semua aturan praktis yang material menempatkan dasar bagi determinasi kehendak didalam hasrat tingkat rendah, dan jika tidak ada hukum formal murni tentang kehendak yang mencukupi untuk menentukan kehidupan, kita tidak dapat mengakui (eksistensi dari) hasrat tingkat tinggi.
Materi sebuah prinsip praktis adalah objek dari kehendak. Jika objek ini adalah dasar penentu, aturan tentang kehendak tunduk pada syarat empiris, oleh sebab itu aturan tersebut bukan hukum praktis. Jika semua materi sebuah hukum, yakni setiap objek dianggap sebagai dasar bagi determinasinya, diabstarksikan dari objek ini, tidak ada yang tersisa kecuali sekedar bentuk yang memberi hukum universal. Maka dari itu, seorang makhluk rasional tidak dapat menganggap prinsip-prinsip (maksim-maksim) praktisnya yang subjektif sebagi hukum-hukum universal, atau dia harus beranggapan bahwa bentuk-bentuk prinsip tersebut, yang dengannya prinsip-prinsip itu cocok untuk menjadi hukum-hukum universal, adalah apa yang membuat prinsip-prinsip tadi jadi sebuah hukum praktis.
Kaidahnya adalah bahwa maksim kehendak kita selalu dapat pada saat yang sama menjadi sebuah prinsip yang membentuk hukum universal.Akal budi dengan sendirinya bersifat praktis, dan ia memberi manusia sebuah hukum universal , yang dapat kita sebut dengan hukum moral.
Objek tunggal akal budi praktis adalah kebaikan dan kejahatan. Kebaikan, dipahami orang sebagai suatu objek yang selalu ada dalam hasrat, dan kejahatan dipahami orang yang selalu ada dalam hasrat, dan kejahatan dipahami orang sebagai objek yang selalu ada dalam kebencian, dan keduanya didasarkan atas prinsip akal budi. Namun kebaikan atau kejahatan selalu mengindikasikan satu relasi dengan kehendak sejauh dengan kehendak itu ditentukan oleh hukum akal untuk menjadikan sesuatu sebagai objeknya, karena kehendak tidak pernah secara langsung ditentukan oleh objek dan konsepsi diatasnya; namun kehendak adalah suatu kemampuan yang dapat menciptakan suatu objek dan konsepsi menjadi nyata. Jadi, kebaikan atau kejahatan sebenarnya mengacu kepada tindakan bukan kepada kondisi sensorik seseorang
Hukum moral sebagai suatu dasar penentu formal tindakan melalui akal murni budi praktis, dan terlebih lagi sebagai suatu materi meskipun sepenuhnya menjadi dasar penentu yang murni objektif dari objek tindakan (dengan sebutan kebaikan dan kejahatan), juga sebagai suatu subjek determinatif. Dengan demekian, hukum moral menjadi pendorong darin tindakan ini, karena ia mempengaruhi sensibilitas subjek dan mempengaruhi perasaan yang meningkatkan pengaruh hukum terhadap kehendak. Dalam subjek tidak ada perasaan sebelum ini yang cenderung mengarh pada moralitas; ini mustahil karena semua perasaan bersifat inderawi, dan pendorong adanya diposisi moral harus bebas dari segala syarat inderawi. Namun, perasaan inderawi, yang merupakan basis semua kecenderungan yang melekat pada diri kita, merupakan kondisi perasaan tertentu yang disebut dengan respek, namun sebab yang menentukan perasaan ini terdapat didalam akal budi praktis murni; karena asal usulnya, perasaan tertentu ini tidak dapat dikatakan dipengaruhi secara praktis. Karena ide tentang hukum moral menghalangi pengaruh cinta diri dan delusi kesombongan diri, ia menghilangkan segala hambatan menuju akal budi murni dan menghasilkan sensibilitas; ia meningkatkan bobot hukum moral, dalam penilaian akal budi, dengan menghapuskan bobot tandingan hukum moral yang lahir dari satu kehendak yang dipengaruhi oleh sensibilitas.
Dengan demikian, penghargaan terhadap hukum bukan pendorong dari moralitas itu sendiri, secara subjektif dipandang sebagai suatu pendorong, sebagaimana yang dilakukan oleh akal budi parktis, dengan menolak semua klaim lawan tentang cinta diri, memberikan otoritas dan kedaulatan mutlak kepada hukum. Harus diperhatikan bahwa , ketika efek mempengaruhi sensibilitas mahluk rasional, ia mengandaikan adanya keinderawian dan keterbatasan manusia yang menjadi sasaran pemaksaan penghargaan terhadap hukum; dengan demikian, penghargaan hukum tidak dapat dilekatkan pada entitas tertinggi atau bahkan pada sesutu yang bebas dari semua sensibilitas, karen apada mahluk tersebut tidak mungkin ada hambatan bagi akal budi praktis.
Kritik pada buku ini adalah kelebihannya adalah materi sudah bagus dan sesuai dengan judulnya lengkap menjelaskan gambaran dari judul buku, namun kekurangannya adalah bahasanya sangat sulit banyak sekali bahsa-bahasa yang memang multi tafsir sehingga bagi saya pembaca awam sulit memahaminya.
Sumber:KantImmanuel.2005.KirtikAtasAkalBudiPraktis.Yogyakarta:PustakaPelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar