Selasa, 27 Desember 2016

Konsep Dasar Aksiologi


Konsep Dasar Aksiologi
Aksiologi adalah asas mengenai cara begaimana menggunakan ilmu pengtahuan yang secara epistemologi diperoleh dan disusun. Menurut kamus “The Random House Dictionary of the English Language”: aksiologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai,seperti etika, estetika, atau agama.Secara historis, istilah yang lebih umum dipajai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam diaog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Yaitu bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tenang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good). Tatkala yang baik terindefikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakan kata-kata atau konsep “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought/should).
Menurut Jujun S. Suriasumantri (1985 : 34-35) Aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara car penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik, prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmia dengan norma-norma moral atau profesional?. Pada dasarnya ilmu engetahuan harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperolrh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai koonotasi ras, ideologi, atau agama.
Aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemnukan suatu teori nilai. Terdapat dua kategori dasar aksiologi, yaitu; (1) objectivisme dan (2) subjectivisme. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada pendapat manusia. Dari sini muncul emat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.Dengan demikian, sebagai cabang filsafat yang berbicara tentang nilai (what is the value), aksiologi merupakan “ilmu” yang memberikan pertimbangan pada sesuatu yang berharga, berkualitas, bermakna dan bertujuan bagi kehidupan manusia, individu maupun kelompok. Umumnya orang menimbang nilai dengan kadar baik atau buruk (etika), indah atau jeek (estetika). Karena itu, nilai mengarahkan tindakan unuk membentuk “preferensi nilai” (system nilai atau nilai).
Secara etimologis aksiologi berasal dari kata axia (nilai, value:inggris), dan logos (perkataan, pikiran, ilmu). Untuk itu, aksiologi berarti ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, yang pada umumnya ditinjau dari sudut pendangan kefilsafatan. Sedangkan menurut Jalaluddin, aksiologi adalah suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai (value) yang dibedakan dalam tiga bagian, yaitu;
·         Moral Conduct, tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika.
·         Esthetic Expression, ekspresi keindahan yang melahirkan estetika.
·         Socio-political Life, kehidupa sosio-politik, bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosio-politik.
Aksiologi diartikan juga sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh, pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Di dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus, seperti epistimologi, etika dan estetika. Epistemologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan. Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
1.         Aksiologi merupakan Nilai Kegunaan Ilmu
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa aksiologi merupakan dimensi yang berkaitan dengan ilmu dan moral, atau nilai yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab sosial ilmuan. Karena itu, salah satu aspek pembahasan tentang integrasi keilmuan tidak dapat lepas dari kajian aksiologi ilmu.Karena kegunaan ilmu tidak lepas dari kepentingan manusia, artinya ilmu harus membawa dampak positif bagi manusia. Bukan sebaliknya membawa petaka bagi manusia. Sebagaiman ungkapan Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun. S. Suriasumantri bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”. Pada titik ini layak kita mempertanyakan apakah kekuasaan itu merupakan berkah atau justru petaka bagi umat manusia? Meskipun ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencaai kebahagiaan hidupnya, dan memiliki sifat netral sehingga ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk, namun semuanya tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.Oleh karena itu, nilai kegunaan ilmu yang dapat dilia pada kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
a.    Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran: jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
b.    Filsafat sebagai pandangan hidup: filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
c.    Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah: dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batu didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebi enak bila masalah-masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, muai dari cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas, penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak bergantung ada pendapat individu, melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran mansia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki adal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Bagaiman dengan objetivitas ilmu sudah menjadi ketentuan umum bahwa ilmu hasur bersifat onjektif. Salah satu faktor yang membedakan antara pernyataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada onjektifitasnya, seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologi, agaman dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang ilmuan bekerja, dia hanya tertuju kepada roses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif yang ada.
2.         Moralitas Sebagai Dasar Pijakan Manusia
Hal mendasar yang tidak dapat dilepaskan begitu saja dalam membicarakan pembenaran moral, adalah persoalan yang berkenaan dengan pertanyaan bagaimana seseorang daoat hidup dengan cara yang baik setiap saat. Mengingat bahwa manusia itu terlahir dalam keadaan “baik”, sehingga menjadi tugasnya untuk selalu mempertahankan kebaikan tersebut terutama dalam hubungan sosialnya. Maka tanggung jawab terutama dari eksistensinya di dunia adalah bagaimana memfungsikan dirinya sedemikian rupa agar dapat meraih nilai-nilai moral menjadi miliknya yang sejati, sehingga ia pantas disebut sebagai manusia.Penerimaan sebuah nilai, erat kaitannya dengan upaya-upaya rasional manusia dalam mencari pembuktian-pembuktian yang meyakinkan dirinya atau kebenarannya, sehingga ia menemukan pegangan hidup yang akan menuntun dirinya menjalani keidupannya di dunia. Sehingga dengan cara demikian ia pun dapat hidup dengan cara yang baik dan pantas setiap saat.Oleh karena itu, pertanyaan spesifik yang diajukan adalah: seperti apa “yang baik” atau “yang tidak baik”, dan “yang pantas” serta “ yang tidak pantas” itu? Pertanyaan-pertanyaan ini berkenaan dengan alasan-alasan dan motif-motif seseorang dalam melakukan tindakan moral. Ketika seseorang melihat tindakan moral dalam konteks produk dari sebuah perilaku, maka dalam hal ini ia melihat pembenaran moral dalam konsekuensi sebuah tindakan. Mereka dalam hal ini melihat bahwa tidak ada suatu yang bernilai “baik” akan melahirkan kejahatan, dan sebaliknya bahwa tidak akan ada suatu yang bernilai “jahat” akan melahirkan kebaikan.Sebaliknya, bagi mereka yang berkeyakinan bahwa perilaku moral dapat dilihat dari nilai-nilai yang ada pada proses, dengan mengatakan jika suatu tindakan dilalui dengan penuh pertimbangan dan procedural, maka akan melahirkan produk moral. Sebaliknya, apabila sebuah tindakan tidak melalui proses dan prosedur moral, makan akan terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam berperilaku, sehingga dengan demikian moralitas selalu tampil dalam berbagai sendi, baik dalam proses maupun dalam produk.Standar moral manusia banyak ditentukan oleh tingkat perkembangan sosialnya, intelegensinya dan ilmu pengetahuan yang berkembang. Moralitas tumbuh dan berkembang dalah kehidupan manusia sebagai pembuka bagi kehidupan yang lebih maju ke arah keidupan yang membahagiakan dan enuh makna. Oleh karena itu, problem moral bukan sekedar masalah moral itu sendiri, tetapi juga menyangkut persoalan sosial, ekonomi dan juga polotik.Pra pemikir moral banyak memberikan jawaban atas pertanyaan diatas, seperti yang tergabung dalam aliran deontologis, ojektif dan non-naturalistik dan yang termasuk dalam aliran teleologis, subjektif dan naturalistik yang kesemuanya memiliki epistemologi yang berbeda dalam memberikan jawaban atas pembenaran nilai-nilai moral. 
sumber :Susanto, A.(2011). FilsafatIlmu.Jakarta: PT Bumi Aksara.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar