Selasa, 27 Desember 2016

Konsep Dasar Epistemologi


Konsep Dasar Epistemologi
Secara etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan; logos biasanya dipakai untk menunjuk pengetahuan sistmatik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa epistemologi adalah pengetahuan sistematik tentang pengetahuan. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat, yakni epistemology dan ontology (on=being, wujud, apa + logos = teori), ontology (teori tenang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tidak ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa, sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya, sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Jujun S. Suriasumantri (1985 : 34-35),Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara atau teknik atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Secara singkat dapat dikatakan bahwa epitemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan. Dengan kata lain, epistemology meruakan disiplin filsafat yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan. Sedangkan pengetahuan yang tidak ilmiah adalah masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini, berupa pengetahuan hasil sarana inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah ada maupun baru didapat. Disamping itu, sesuatu yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran, seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi). Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang pra-ilmiiah, sesungguhnya dieroleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”. Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahap-mistik, tidak terdapat perbedaandiantara pengetahuan-pengetahuan yang berlaku juga untuk obyek-obyeknya, pada tahap mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua obyek tampil dalam kemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segala-galanya.Fenomena tersebut sejalan dengan singkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diverifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, anatara lain sebagai seagi kepala pemerintahan, akim, guru, panglima perang, penjabat, pernikaan dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa emimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya.
Epistemologi juga disebut sebagai cabang filsafat yang berelevansi dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan, pra-anggapan-pra-anggapan, dan dasar-dasarnya, serta rehabilitas umum dari tuntutan akan pengetahuan. Epistemologi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mengkaji awal mula, struktur, metode, dan validity pengetahuan. Berdasarkan berbagai definisi itu dapat diartikan, bahwa epistemologi yang berkaitan dengan masalah-masalah yang meliputi:
·           Filsafat, yaitu sebagai filsafat yang berusaa mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan;
·           Metode, sebagai metode bertujuan mengatur manusia untuk memperoleh pengetahuan.
·           Sistem, sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri.
1.      Metode dan Memperoleh Pengetahuan
a.    Empirisme
Empirisme adalah suatu cara atau metode dalam filsafat yang berdasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusa dilahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan tulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut. Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima asil-hasil enginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita, betapapunrumitnya dapat dilacek kembali sampai kepada pengalaman-engalaman inderawi yang pertama-pertama dapat diibaratlam sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak erlu dilacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.
b.    Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Ara penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak didalam ide kita, dan bukannya didalam diri barang sesuatu. Jike kebenaran mengandung makna dan mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
c.    Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaiman terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalam dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena iu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman meskipun benar hanya untuk sebagian.tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman. 
d.   Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hal pengenala secara langsung dari pengetahuan intuitif.Salah satu diantara unsur-unsur yang berharga dalam instuisionisme Bergson ialah, paam ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman disamping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman arus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalam intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk hanya mengatakan bahwa pengetahuan yng lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi yang meliputi sebagian saja yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaan yang senyatanya. 
2.      Justifikasi Epistemologi
a.    Evidensi
Evidensi adalah cara bagaimana kenyataan itu dapat hadir atau “perwujudan dari yang ada bagi akal”. Konsenkuensi dari pengertian itu adalah, bahwa evidensi sangatlah bervariasi. Akibat lebih lanjut adalah persetujuan yang dijamin oleh kehadiran ada yang bervariasi ini juga akan bervariasi. Seorang positivis mungkin menyatakan pengandaian bahwa masa depan adala mirip dengan masa lampau. Namun evidensi yang menjamin kepastiannya bukanlah kepastian yang sedemikian rupa seingga kejadian sebalknya tidak terbayangkan.Evidensi dari perilaku manusia tentuberbeda dengan hal yang semata-mata bersifat fisik, sebab kepastian manusiawi adalah bersifat hipotesis. Misalnya saya yakin secara moral bahwa apabila supir bus itu normal maka ia tidak akan menabrak mobilnya ke pohon. Kesaksian adalah salah satu sumber dari keyakinan moral kepastiannya agak diremehkan. Namun banyak orang yang lebih yakin pada pernyataan-pernyataan yang bersumber dari kesaksian daripada tentang hukum gravitasi.
b.    Kepastian
Kepastian dalam hal ini memuat kebenaran dasar atau yang disebut sebagai kebenaran-kebenaran primer. Prinsip pertama adalah suatu “kepastian dasar yang mengungkapkan eksistensi subjek”. Subjek yang mengetahui tidak mesti identik dengan kegiatannya, ada perbedaan subjek dan aktivitasnya. Adanya kesadaran akan mandirinya subjek dan manunggalnya dengan aktivitasnya adalah penting, sebab ada beberapa aliran yang mengatakan bahwa pakarti adalah bundle of actions, aliran ini memposisikan pakarti merupakan aksidensi dan bukan substansi.Kepastian dasar ini tidak saja merupakan jawaban yang mendasar terhadap berbagai macam sikap dan ajaran seperti skeptisisme dan relativisme, tetapi karena keastian dasar merupakan dasarnya segala kepastian. 
c.    Keraguan
Ada dua bentuk aliran yang mempertanyakan kepaastian mengenai adanya kebenaran. Keduanya dapat dianggap sebagai aliran yang mempermasalahkan, meragukan, dan mempertanyakan kebenaran dan adanya kebenaran.Pertama, aliran Skeptisisme-Doktriner berkeyakinan bahwa pengetahuan dan kebenaran itu tidak ada, yang kurang ekstrem mengatakan sesungguhnya tidak ada cara untuk mengetahui bahwa kita mempunyai pengetahuan. Misalnya, ajaran ini menganjurkan agar orang tidak melibatkan diri dalam kegiatan intelektual tertentu karena mempunyai pendapat tentang sesuatu, maka hal itu mengandung kontradiksi, sebab ajaran untuk tidak melibatkan diri secara intelektual, adalah sudah merupakan kegiatan inelektual.Kedua, aliran Skepetisisme-Metodik menyatakan bahwa pengetahuan dan kebenaran ada, tetapi tidak sebagai doktrin, melainkan sebagai metoda untuk menemukan kebenaran dan kepastian. Aliran ini merupakan jalan untuk menemukan kepastian kebenaran.
sumber :Susanto, A.(2011). FilsafatIlmu.Jakarta: PT Bumi Aksara.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar