Minggu, 25 Desember 2016

konsep kurikulum

Konsep Kurikulum
A.    Kurikulum Sebagai Rencana Pelajaran
       Konsep kurikulum sebagai suatu program atau rencana pembelajaran, tampaknya diikuti oleh para ahli kurikulum dewasa ini, seperti Donald E. Orlosky dan B. Othanel Smith (1978) dan Peter F. Oliva (1982), yang menyatakan bahwa kurikulum pada dasarnya adalah suatu perencanaan atau program pengalaman siswa yang diarahkan sekolah.
       Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya juga sejalan dengan rumusan kurikulum menurut Undang-Undang pendidikan kita yang dijadikan sebgai acuan dalam penyelenggaraan sistem pendiidkan. Menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dikatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana  dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Yang dimaksud dnegan isi dan bahan pelajaran itu sendiri adalah susunan dan bahan kajian dan peljaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan suatu pendidiakan yang bersangkutan dalam rangka upaya mencapai tujuan pendidikan nasional.
       Batasan menurut undang-undang itu tampak jelas, bahwa kurikulum memiliki dua aspek pertama sebagai rencana (as a plan) yang harus dijadikan sebgai pedoman dalam pelaksanaan proses belajar mengajar oleh guru dan kedua pengaturan isi dan cara pelaksanaan rencana itu yang keduanya digunakan sebgai upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
      Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis memang mudah dipahami, sebab knsep itu jelas sasarannya dan mudah untuk diukur akan tetapi, konsep yang terlalu sempit juga dianggap tidak menguntungkan. Hal ini seperti dikemukakan oleh Zeis (1976) jika kita ingin mengevaluasi kurikulum, kita tidak hanya mengevaluasi rencana saja, tetapi mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan kurikulum tertulis itu pada peserta didik. Oleh karena itu kurikulum tidak hanya menyangkut rencana akan tetapi bagaimana pelaksanaan rebcana itu. Jadi, antara kurikulum sebagai sebuah rencana dengan kuurikulum sebagai sebuiah pernyataan tidak dapat dipisahkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Murray Print (1993) menyatakan : “Curriculum is defined as all the palnned learning opportunities offered to learner by the educational institution and the expreriences learners encounter when the curriculum is implemented”.
       Perlu kita pahami, bahwa sekolah didirikan untuk membimbing peserta didik agar berkembang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Ini berarti titik sentral kurikulum adalah anak didik itu sendiri. Perkembangan anak didik akan tercapai apabila dia memperoleh pengalaman belajar melalui kegiatan yang disajikan sekolah, baik melalui mata pelajaran maupun kegiatan lainnya. Oleh karena itu seperti yang dikatakan Zais, kurikulum sebgai suatu rencana pembelajaran harus bermuara pada perolehan pengalaman peserta didik yang sengaja dirancang untuk mereka miliki. Akhirnya kita simak juga pendapat Skill Beck dan Harris (1976) yang menyatakan  bahwa kurikulum bukanlah materi pelajaran yang terpisah yang harus disampaikan dan dipelajari melainkan bentuk pengalaman dan kebudayaan individu yang harus dipelihara dan dimodifikasi.  Dengan demikian, dalam kurikulum harus mencakup dua sisi yang sama penting, yaitu perencanaan pembelajaran serta bagaimana perencanaan iytu diimplementasikan menjadi pengalaman belajar siswa dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.
       Kurikuum dapat diartikan sebagai sebuah dokimen perencanaan yang berisi tentang tujuan yang harus dicapai, isi materi dan pengalaman belajar yang harus dilakukan siswa, strategi dan cara yang dapat dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang pencapian tujuan, serta implementasi dari dokumen yang dirancang dalam bentuk nyata. Dengan demikian, pengembangan kurikulum meliiputi penyusunan dokumen, implementasi dokumen serta evaluasi dokumen yang telah disusun.
B.     Kurikulum Sebagai Pengalaman
       Banyak tokoh yang menganggap kurikulum sebagai pengalaman, di antaranya adalah Hollis L. Caswell dan Campbell (1935), yang menyatakan bahwa kurikulum adalah “... all of the experiences children have under the guidance of teacher”. Demikian juga dengan Dorris Lee dan Murray Lee (1940) yang menyatakan kurikulum sebagai : “... those experience of the child which the school in any way utilizes or attempts in influence”. Lebih jelas lagi dikemukakan oleh H. H. Giles, S. P McCutchen, dan A.N. Zechiel: “... the currriculum.. the total experience with which the school deals in educating young people”.
        Pergeseran pemaknaan kurikulum dari sejumlah mata pelajaran kepada pengalaman, selain disebabkan meluasnya fungsi dan tanggung jawab sekolah, juga dipengaruhi oleh penemuan-penemuan dan pandangan-pandangan baru khususnya penemuan dalam bidang psikologi belajar. Pandangan baru dlam ppsikologi menganggap bahwa belajar itu bukan mengumpulkan sejumlah pengetahuan, akan tetapi proses perubahan perilaku siswa. Dengan demikian, siswa telah belajar manakala telah memiliki perubahan perilaku. Tentu saja perubahan perilaku itu akan terjadi manakala siswa memiliki pengalaman belajar. Oleh sebba itu dalam proses belajar, pengalaman dianggap lebih penting daripada hanya sekedar menumpuk sejumlah pengteahuan.
       Kalaulah kurikulum dianggap sebagai pengalaman atau seluruh aktivitas siswa, maka untuk memahami kurikulum sekolah tidak cukup hanay dengan melihta dokumen kurikulum sebgai suatu program tertulis, akan tetapi juga bagaimana proses pembelajaran dilakukan anak didik baik disekoalah maupun diluar sekolah. Hal ini harus dipahami, sebab kaitannya sangat erat dengan evaluasi keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu bahwa pencapaian target pengalaman belajar kurikulum tidak hanya diukur dari kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau materi pelajaran seperti yang tergambar dari hasil tes sebagai produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat proses atau kegiatan siswa sebagai pengalaman belajar.
       Bagaimana menentukan dan mengukur pengalaman belajar itu? Bukanlah pekerjaan sederhana. Segala bentuk perilaku siswa merupakan hasil dari pengalamannya yang tidak mungkin dapat dikontrol guru. Oleh sebab itu, kurikulum sebagai suatu pengalaman dianggap bebrapa ahli sebagai konsep yang luas. Dan karena keluasannya itulah maka makna kurikulum menjadi kabur dan tidak fungsional.
     
Evaluasi (penilaian) hasil belajar siswa merupakan salah satu kegiatan manajemen kurikulum. Evaluasi berguna dan bertujuan untuk mendapatkan umpan balik (feed back) bagi pendidik tentang sejauh mana tujuan instruksional (pengajaran) telah tercapai, sehingga dapat diketahui apakah guru masih harus memperbaiki langkah-langkah yang ia tempuh dalam kegiatan mengajar.
Bagi siswa, hasil evaluasi akan menunjukkan kepada mereka betapa keberhasilan mereka dalam kegiatan belajar yang pernah mereka lakukan. Secara garis besar, evaluasi belajar di sekolah dapat dibedakan atas:
1.        Tes Formatif, evaluasi/ penilaian berupa tes (soal-soal, pertanyaan) yang dilakukan setelah satu pokok bahasan selesai dipelajari
2.          Tes Sumatif, evaluasi/ penilaian berupa tes (soal-soal, pertanyaan) yang dilakukan setelah kegiatan belajar mengajar berlangsung dalam jangka waktu tertentu. Misalnya setelah satu caturwulan atau satu semester.

Kurikulum dan hasil belajar merupakan salah satu komponen kurikulum berbasis kompetensi yang memuat kompetensi dasar, hasil belajar dan indikator. Kompetensi dasar adalah, pernyataan yang diharapkan dapat diketahui, disikapi dan dilakukan siswa. Hasil belajar adalah, pernyataan kemampuan siswa yang diharapkan dalam menguasai sebagian atau seluruh kompetensi yang ditetapkan. Indikator adalah, kompetensi dasar secara spesifik yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai ketercapaian hasil pembelajaran.
Dari pendapat ini, maka jelaslah suatu kompetensi harus didukung oleh pengetahuan, sikap dan apresiasi, artinya tanpa pengetahuan dan sikap tidak mungkin muncul suatu kompetensi tertentu.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Gordon (1988), menjelaskan beberapa aspek yang harus terkandung dalam kompetensi, yaitu:
1.      Pengetahuan (knowledge)
2.      Pemahaman (understanding)
3.      Ketrampilan (skill)
4.      Nilai (value)
5.      Sikap (attitude)
6.      Minat (interest)

Dari uraian di atas, maka kompetensi bukan hanya ada dalam tataran pengetahuan akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambar dalam pola prilaku.
1.        Ranah (domain) Kognitif, pengetahuan yang mencakup kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika.
2.        Ranah (domain) Afektif, sikap dan nilai yang mencakup kecerdasan antar pribadi, dengan kata lain kecerdasan emosional
3.        Ranah (domain) Psikomotor, ketrampilan yang mencakup kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spasial dan kecerdasan musikal.

Cara penilaian yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa harus dirancang dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1.        Mengacu pada kurikulum
2.        Bersifat adil bagi seluruh siswa
3.        Dapat memberi informasi yang lengkap sebagai umpan balik
4.        Bermanfaat bagi siswa untuk mengetahui kekuatan dan kelemahannya
5.        Dilaksanakan tanpa menekan siswa atau dalam suasana yang menyenangkan.
6.        Diadministrasi secara tepat dan efesien

Evaluasi hasil belajar dapat dilakukan dengan penilaian kelas, tes kemampuan dasar, penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi serta penilaian program. Kurikulum berbasis kompetensi akan berhasil dilaksanakan jika diterapkan pola belajar aktif karena pola ini mampu mengembangkan seluruh kompetensi secara optimal. Jika pola ini diterapkan, beragam cara dan alat penilaian harus pula diterapkan, terutama cara-cara unjuk kerja, produk, portopolio dan tingkah laku.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar