Selasa, 27 Desember 2016

modernisasi, dan masa depan agama



Modernisasi:tinjauan islami
       Pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik,atau hampir identik,dengan pengertian rasionalisasi.dan hal itu berarti proses perombakan pola berfikir dan tata-kerja lama yang tidak akliah(rasional),dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata- kerja baru yang akliah.kegunaannya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal.hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia dibidang ilmu pengetahuan.sedangkan ilmu pengetahuan,tidak lain ialah hasil pemahaman manusia terhadap hukum-hukum objektif yang menguasai alam,ideal dan material,sehingga alam ini berjalan menurut kepastian tertentu dan harmonis.
       Orang yang bertindak menurut ilmu pengetahuan(ilmiah) beratrti bertindak menurut hukum alam yang berlaku.oleh karena tidak melawan hukum alam,malahan menggunakan hukum alam itu sendiri,ia memperoleh daya guna yang tinggi.jadi,sesuatu dapat disebut modern,kalau ia bersifat rasional,ilmiah dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam.sebagai contoh: sebuah mesin hitung termodern dibuat dengan rasionalitas yang maksimal,menurut penemuan ilmiah yang terbaru,dan karna itu penyesuaiannya dengan hukum alam paling mendekati kesempurnaan.

Rasionalisme dan agama baru
       Rasionalisme adalah  suatu faham yang mengakui kemutlakan rasio,sebagaimana yang dianut oleh kaum komunis.maka seorang rasionalis adalah seorang yang menggunakan akal fikirannya secara sebaik-baiknya,ditambah dengan keyakinan bahwa akal pikirannya itu sanggup menemukan kebenaran,sampai yang merupakan kebenaran terakhir sekalipun.sedangkan islam hanya membenarkan rasionalitas,yaitu dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusiadalam menemukan kebenaran-kebenaran.
            Modernisasi,yang berarti rasionalisasi,pusat pembicaraan ini tentunya dikenakan dalam aspek kehidupan kita seluas mungkin.pada permulaan pembahasan telah dikemukakan bidang berpikir dan tata kerja nya.bidangnya bersifat konkret material,seperti sistem pertnian,perhubungan,proses produkssi di pabrik-pabrik dan lain-lain;dan yang bersifat tidak material,seperti perbaikan sosial ekonomi dan  politik.maka disinilah dalam masalah-masalah yang bersifat konkret dan material,manusia mungkin dapat mengadakan penelaahan,kemudian menarik hukum-hukum umumnya(membuat generalisasi),denga  sikapyang objektif.misalnya,dalam hal perlistrikan.dalam hal listrik ini,mnusia dapat bersikap,sesubjektif mungkin dalam penelaahan,penyelidikan dn akhirnya penyimpulan hukum-hukumnya, sehingga memungkinkan  ditemukannya teori (ilmu) yang benar tentang listrik.dan begitulah kenyataannya,manusia dimana saja ia berada,diameruika ataupun di rusia,di afrika ataupun di asia ,menganut hukum-hukum dan teori-teori yang sama tentang benda tersebut (listrik),dan karenanya menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut benda itu dengan cara dan teknik yang sama.
            Akan tetapi,bagaimankah sikap manusia yang menyangkut dirinya sendiri ,yaitu dalam maalah-masalah pergaulan sesama manusia (sosial,malahan  juga tentang kehidupan dirinya sendiri). Dalam hal ini manusia tidak mungkin melepaskan diri dari subjektifitas nya dan anggapan-anggapan yang telah dipunyai demi memenuhi pikirannya.ketika manusia mengadakan pengamatan terhadap masalah-masalah kemanusiaan,menyelidiki hukum-hukum yang menguasai hubungan sesama manusia,ia tidak sanggup lagi bertindak subjektif mungkin..hal itu mengakibatkan hukum-hukum yang disimpulkan oleh manusia tentang manusia sendiri,yang mengenai masalah-masalah kehidupannya sebagai makhluk sosial,tidak bisa lepas dan bersih dari anggapan-anggapan yang telah dipunyai sebelumnya .akibatnya,ilmu yang ditariknya menjadi tidak benar,bersifat subjektif.inilah yang menyebaabkan berbeda-bedanya faham manusia tentang sistem-sistem sosial,ekonomi dan politik,yang mengatur perikehidupan manusia sebagai makhluk sosial dari tempat ke tempat . pada masa sekarang ini , semua orang sudah tau pertentangan diametral antar kelompok manusia yang menganut sistem komunisme-totaliteralisme.
            Islam memberikan jawaban yang tegas, bahwa tidak satupun dari kedua sistem itu yang benar. Sebab, jika dalam hal benda-benda material saja rasio manusia tidak sanggup menemukan kenyataan (realitas) terakhir yang merupakan ultimate truth, sebagaimana diakui Einstein,  apalagi tentang hal yang bukan material, seperti masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik. Apalagi, dalam hal yang kedua ini manusia tidak sanggup bersikap objektif. Oleh karena itu, sekali lagi, manusia memerlukan pengajaran dari tuhan, pencipta manusia, pengatur atau pemberi hukum bagi kehidupannya, baik yang bersifat individual maupun komunal, sebagaimana Tuhan itu pula adalah pencipta seluruh alam, pengatur atau pemberi hukum kepadanya. Jadi, manusia harus kembali kepada ajaran Tuhan terutama dalam usahanya untuk menemukan dan mencari masalah-masalah normatif yang bersifat asasi. Sedangkan dalam masalah-masalah operatif, manusia masih diberikan kelonggaran seluas-luasnya untuk menemukannya sendiri, dengan mengerahkan segenap kemampuan akal pikirannya.
            Dengan perkataan lain, secara singkat, dalam kegiatannya yang meliputi bidang apapun dari kehidupannya, manusia harus mencari dasarnya didalam prinsip ketuhanan yang maha esa. Kembali ke sekularisme. Masih ada sesuatu yang harus diterangkan sedikit. Oleh karena kaum sekularis tidak mau menjadikan agama (baca: ajaran tuhan yang maha esa) sebagai sumber norma-norma asasi dalam kehidupan duniawinya, sesuai dengan ketentuan bahwa manusia harus mempunyai sekumpulan keyakinan untuk menopang peradaban yang hendak diciptakannya, kaum sekularis pun kemudian menciptakan sekumpulan gagasan sikap dan kepercayaan yang nantinya menjelma menjadi suatu kesatuan keyakinan yang menyerupai agama. Mengingat bahwa kaum sekularis pada pokoknya menyandarkan diri kepada kemampuan diri manusia sebagai sumber bagi penemuan nilai-nilai yang mutlak diperlukan dalam membina kehidupan, maka perkataan yang paling meliputi dan umum dipakai untuk menamakan sekumpulan gagasan, sikap dan kepercayaan itu ialah perkataan humanisme.
            Dalam hubungannya dengan masalah ini,  Julian Huxxley, seorang humanis terkenal, dengan tegas mengatakan bahwa humanisme adalah sebuah agama baru. Karena mempercayai akan adanya evolusi kemanusiaan menemukan nilai-nilai kebenaran (sampai kebenaran terakhir), dia menamakannya humanisme evolusioner. Tentang humanisme ini, dia menulis sebuah buku dengan judul Religion without Revelation (Agama tanpa Wahyu) dan dalam bukunya, Evolution in Action, dia mengatakan sebagai berikut: “saya terpaksa menggunakan perkataan agama sebab, kenyataan bahwa semuanya ini membentuk sesuatu dalam hakikat agama, barang kali orang dapat menamakannya humanisme evolusioner. Perkataan ‘agama’, sering dipakai secara terbatas, dengan arti kepercayaan kepada dewa-dewa; tetapi saya tidak memakainya dalam pengertian ini-dengan sendirinya saya tidak ingin melihat seorang manusia diangkat menjadi dewa, sebagaimana terjadi pada beberapa orang pada masa silam, dan masih terjadi sampai hari ini. Saya menggunakannya dalam penelitian yang lebih jelas untuk menunjukan suatu hubungan menyeluruh antara seseorang dan nasibnya, serta sesuatu yang menyangkut perasaannya tentang apa yang suci. Dalam pengertian yang luas ini, humanisme evolusioner, bagi saya, tampaknya dapat dijadikan benih suatu agama, yang tidak usah menyingkirkan agama-agama yang ada dengan menggantikan agama-agama itu. sekarang tinggal mencari jalan bagaimana agar benih-benihnya dapat berkembang untuk mengerjakan kerangka intelektualnya, bagaimana caranya supaya gagasan-gagasan itu dapat memberikan inspirasi, dan untuk meyakinkan penyebarannya yang luas”. Jadi jelas, bahwa humanisme adalah sebuah agama baru hasil ciptaan manusia. Tidak seperti agama-agama lainnya ia tidak berbicara tentang Tuhan. Tetapi, seperti agama-agama lainnya membicarakan sesuatu yang sangat prinsipal, yaitu penentuan nasib manusia, dan pengertian tentang sesuatu yang bersifat suci. Dan mereka percaya bahwa humanisme berlaku dimana saja dan kapan saja: universal malahan abadi.
            Sebenarnya, tokoh-tokoh humanisme meliputi suatu strata sempit masyarakat barat, yang terdiri dari kaum etnik pandai. Dan kesemuanya berlomba-lomba menulis buku yang menuliskan dengan agama baru itu. untuk menyebutkan sebagian saja, kami kemukakan disini sebagaimana yang diterangkan oleh A.J. Bahm: Charles Francis Potter menulis buku Humanism is a New Religion; Roy Wood Sellar menulis buku Religion Coming of Age; Durant Drake menulis buku The New Morality; Corliss Lamont dengan bukunya, Humanism is a Philosophy; dan lain-lain.
            Oleh karena sekularisme merupakan keharusan bagi humanisme, Horrace menulis buku Secularism is the Will of God. Dan pragmatisme pun merupakan unsur penting way of life, menurut humanisme. Maka disini pun perlu disebutkan buku William James, Pragmatism, A New Name for Some Old Ways of Thingking.
Pada 1933, kaum humanis, mengeluarkan sebuah manisfesto yang dinamakan, “A Humanist Manifesto”, dikeluarkan di Chicago, dan ditanda tangani oleh 34 penanda tangan. Mukadimah manifesto itu menyebutkan: “Agama selalu merupakan jalan untuk melaksanakan nilai-nilai tertinggi kehidupan.” Tetapi ada suatu bahaya yang besar untuk mengidentikkan perkataan agama dengan doktrin-doktrin dan metode-metode yang telah kehilangannya artinya dan kehilangan kekuatan untuk dapat menyelesaikan masalah kehidupan manusia pada abad kedua puluh dan seterusnya.
Sekuler dan Sekulerisme
       Penggunaan istilah sekuler dan sekulerisme pada masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekulerisme dapat menunjang kebbebasan beragama dan kebebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu.
       Sekulerisme juga menunjuk pada anggpan bahwa aktivitas dan penentuan manusia, terutama yang politis, harus didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, bukan berdasarkan pengaruh keagamaan. Tujuan dan argumrn yang mendukung sekulerisme beragam. Dalam  laisisme eropa, diusulkan bahwa sekulerisme adalah gerakan menuju modernisassi dan menjauh dari nilai-nilai keagamaan tradisional. Tipe sekulerisme ini, pada tingkat sosial dan filsafatsering terjadi ketika masih memelihara gereja negara yang resmi  atau dukungan kenegaraan lainnya terhadap agama. Istilah sekulerisme pertama kali digunakan oleh penulis inggris George Holyoake pada tahun 1846. Walaupun istilah yang digunakan adalah baru, konsep kebebasan berpikir yang darinya sekulerisme didasarkan, telah ada sepanjang sejarah. Ide-ide sekuler yang menyangkut pemisahan filsafat dan agama dapat dirunut baik ke ibnu rusdi dan aliran filsafat averoisme. Holyoake menggunakan istilah sekulerisme untuk menjelaskan pandangannya yang mendukung tatanan sosial terpisah dari agama, tanpa merendahkan atau mengkritik sebuah kepercayaan beragama. Sebagai seorang agnostik, Holyoake berpendapat bahwa sekulerisme bukanlah argumen melawan kekeristenan , namun terpisah dari itu.
       Sekulerisme tidak mengatakan bahwa tidak ada keuntungan atau penerangan dari ideologi lain, namun memelihara bahwa ada penerangan dari tuntunan di dalam kebenaran sekuler, yang kondisi dan sangsinya berdiri secara mandiri dan berlaku selamanya. Penegtahuan sekuler adalah pengetahuan yang didirikan didalam hidup ini, berhubungan dengan hidup ini,  membantu tercapainya kesejahteraan didunia ini, dan dapat diuji noleh pengalaman didunia ini.
       Barry Kosmin dari institut pengkajian sekulrisme didalam masyarakat dan budaya membagi sekulerisme mutakhir menjadi dua jenis, yaitu sekulerisme keras dan sekulerime lunak menurutnuya, “sekulerisme keras menganggap pernyataan keagamaan tidak mempunyai legitimasi secara epistemologi dan tidak dijamin baik oleh agama dan pengalama.” Namun, dalam  pandangan sekulerisme lunak, pencapaian kebenaran mutlak adalah mustahil dan oleh karena itu, toleransi dan skeptisme harus menjadi prinsip dan nilai yang dijunjung dalam diskusi anatara ilmu pengetahuan dan agama.
       Sebelum membahas ilmaniah (sekulerisme), kita harus mengetahui maknanya secara detail. Sebab, menurut ahli ilmu logika, menghukumi sesuatu merupakan bagian dari pemahaman tentangnya. Terutama istilah-istilah seperti ini, jika kita tidak memberikan batasan yang jelas dan detail, setiap orang menginterpretasikannya dengan semaunya ilmaniah adalah terjemahan dari bahasa aarab yang salah dari kata eseckulerism dalam bahsa inggris atau secularit atau seculhrique dalam bahasa prancis, yakini suatu istilah yang sama sekali tidak ada hubungnnya dnegan kata ilmu.
       Dalam bahsa inggris atau bahasa perancis, ilmu adalah science, alirannya disebut scientism, sedangkan penisbatan kepada ilmu, kita mengatakannya dnegan  scientific atau dalam bahasa perancisnya adalah scientifique. Adanya imbuhan alif dan nun pada kata alim dalam bahsa arab adalah bersifat sima’i untuk penisbatan, seperti kata robani penisbatan kepada rabbyangt akhirnya muncul kata-kata seperti ruhani, ngapsani, dan sebagainya. Lalu muncul pula kata-kata seperti akhlani, syakhsany, dan ilmany.
       Bahsasa arab yang benar dari “secularism” atau secularit adalah ladiniah atau duniawiyah yang maknanya tidak hanya ukharawi, tetapi juga memiliki makna yang lebih spesifik, yakini sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan dien/agama atau sesuatu yang hubungannya dengan agama adalah hubungan lawan.
        Diterjemahkan kata “ secularism” atau “secularit” kedalam bahasa arab dengan “iilmaniah” atau “ almaniah” karena penerjemahannya tidak memahami kata-kata “dien” dan “ilmu” dengan makna yang sebenarnya, tetapi memahaminya dengan pemahaman barat masehi, dimana kedua kata ini (dien dan ilmu) bagi mereka adalah dua hal yang bertentangan. Yakni, sesuatu yang bersifat agama tidaklah berkaitan dengan ilmu, begitu juga sebaliknya. Dengan perkataan lain, ilmu begitu juga sebaliknya. Dengan perkataan lain, ilmu dan akal merupakan lawan agama.
      Ungkapan yang besar terhdapa kata-kata “sekularisme” adalah tampak pada apa yang disebutkan dalam sejumlah kamus dan ensiklopedia asing. Misalnya, dalam Ensiklopedia Britania disebutkan bahwa “sekularisme” adalah sebuah gerakan kemasyarakatan yang bertujuan memalingkan dari kehidupan akhirat dengan semata-mata berorientasi pada dunia. Gerakan ini dilancarkan karena pada abad-abad pertengahan, orang sangat cenderung kepada allah dan akhirat serta menjauhi dunia sekularisme tamil untuk menhadapinya dan untuk mengusung kecendrungan manusia yang pada abad kebangkitan, orang menampakkan ketergantungan yang besar terhadap aktualisasi kebudayaan dan kemanusiaan serta kemungkinan terealisasinya ambisi mereka terhadap dunia. Lalu, orientasi pada sekularisme yang merupakan gerakan perlawanan terhadap agama dan ajaran masehi terus berlanjut di celah –celah sejarah modern seluruhnya.
     Dalam kamus Dunia baru, Wipster merinci makna sekulerisme dengan menyebutkan sebagai berikut:
Semangat keduniaan atau orientasi “ duniawi” dan sejenisnya. Secara khusus adalah undang-undang dari kekumpulan prinsip dan praktik (prastisces) yang menolak setiap bentuk keimanan dan ibadah. Keyakinan bahwa agama dan agama dapat dan urusan-urusan dan geraja tidak dihubungkan sama sekali dengan soal-soal pemerintahan terutama soal pendidikan umum.
      Sementara itu, dalam  kamus oxfoerde disebutkan adalah modern ketiga disebutkan bahwa “sekularisme artinya bersifat kedunia an materialisme bukan kegamaan dan tuhannya. Seperti pendidikan sekuler, seni atau  musik sekuler, pemerintahan sekuler, pemerintahan yang bertentangan gereja. Sekulerisme adalah pendapat yang mengatakan adalah yang mengatakan bahwa agama tidak layak menjadi pondasi akhlak dan pendidikan.
        Sementara itu, dalam kamus internasional modern ketiga disebutkan bahwa sekularisme adalah suatu pandangan dalam hidup atau dalam satu maslah yang berprinsip bahwa agama tau hal-hal yang bernuansa agama tidak boleh masuk ke dalam pemerrintahan atau pertimbangan-pertimbangan keagamaan harus dijauhkan darinya. Maksudnya adlah politik sekuler murni dalam pemerintahan, misalnya yang terpisah sama sekali dari agama.
     Selain itu, sekularisme adalah  undang-undang akhlak sosial yang berlandskan pemikiran yang mewajibkan ditegakkan nilai-nilai perilaku dan moral menurut  kehidupan  modern dan solidaritas sosial tanpa memandang agama. Adapun seorang orientasi bernama Arberriy dalam bukunya, Ad-Dienfi Asy-Syariq Al-Awsaih, mengatakan berkenan dengan sekularisme sebagai berikut: materialisme sekuler dan humanistik serta aliran naturalisme semuanya merupakan bentuk dari sekularisme sebagai ciri khas eropa dan amerika yang fenomenanya tampak di timur tengah. Ia tidak membuat satu model pun dlam filsafat etika tertentu.

Daftar Pustaka
Madjid, Nurkholis. (1987).Islam Kemodernan Dan KeIndonesiaan. Bandung: PT Mizan Pustaka
http://googleweblight.com/?lite url=http://www.ssbelajar.net/2012/08/konsep-modernisasi-dalam-1
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar