Selasa, 27 Desember 2016

Operant Conditioning menurut Burrhus Frederic Skinner dkk


3.3 Operant Conditioning menurut Burrhus Frederic Skinner
            B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Di mana seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik.
            Gaya mengajar guru dilakukan dengan beberapa pengantar dari guru secara searah dan dikontrol guru melalui pengulangan dan latihan. Menajemen Kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yanag tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
            Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
            Skinner membuat eksperimen sebagai berikut :
            Dalam laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik. Karena dorongan lapar tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shapping.
            Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Bentuk bentuk penguatan negatif antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang.
Beberapa prinsip Skinner antara lain :
1.      Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguatan.
2.      Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
3.      Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
4.      Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
5.      Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
6.      Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan dengan mengunakannya jadwal variabel Rasio rein forcer.
7.      Dalam pembelajaran digunakan shaping.
3.4 Social Learning menurut Albert Bandura
            Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925 di Mondare alberta berkebangsaan Canada. Ia seorang psikolog yang terkenal dengan teori belajar sosial atau kognitif sosial serta efikasi diri. Eksperimennya yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak meniru secara persis perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya.
            Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri.
            Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
            Faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi adalah:
1.      Perhatian, mencakup peristiwa peniruan dan karakteristik pengamat.
2.      Penyimpanan atau proses mengingat, mencakup kode pengkodean simbolik.
3.      Reprodukdi motorik, mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, keakuratan umpan balik.
4.      Motivasi, mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.
            Selain itu juga harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan mempunyai prinsip sebagai berikut:
1.      Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya.
2.      Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
3.      Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut disukai dan dihargai dan perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.
            Karena melibatkan atensi, ingatan dan motivasi, teori Bandura dilihat dalam kerangka Teori Behaviour Kognitif. Teori belajar sosial membantu memahami terjadinya perilaku agresi dan penyimpangan psikologi dan bagaimana memodifikasi perilaku. Teori Bandura menjadi dasar dari perilaku pemodelan yang digunakan dalam berbagai pendidikan secara massal.
4. Teori  Belajar Kognitivisme
            Berbeda dengan teori behavioristik, teori kognitivismelebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Teori ini mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, melainkan tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Teori kognitivisme juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
            Prinsip umum teori Belajar Kognitivisme, antara lain:
a.       Lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil
b.      Disebut model perseptual
c.       Tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya
d.      Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang Nampak
e.       Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi/materi pelajaran  menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan memperlajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna.
f.       Belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya.
g.      Belajar merupakan  aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
h.      Dalam praktek pembelajaran  teori ini tampak pada tahap-tahap perkembangan(J. Piaget), Advance organizer (Ausubel), Pemahaman konsep (Bruner), Hierarki belajar (Gagne), Webteaching (Norman)
i.        Dalam kegiatan pembelajaran keterlibatan siswa aktif amat dipentingkan
j.        Materi pelajaran disusun dengan  pola dari sederhana  ke kompleks
k.      Perbedaan individu siswa perlu diperhatikan, karena sangat mempengaruhi keberhasilan siswa belajar.
4.1 Teori Belajar menurut Gestalt
            Pandangan para ahli psikologi Gestalt tentang belajar berbeda dengan ahli psikologi asosiasi. Psikologi Gestalt memandang bahwa belajar terjadi jika diperolah insight (pemahaman). Insight timbul secara tiba-tiba, jika individu telah dapat melihat hubungan antara unsur-unsur dalam situasi problematis. Dapat pula dikatakan bahwa insight timbul pada saat individu dapat memahami struktur yang semula merupakan suatu masalah. Dengan kata lain insight adalah semacam reorganisasi pengalaman yang terjadi secara tiba-tiba, seperti ketika seseorang menemukan ide baru atau menemukan pemecahan suatu masalah. (Gagne, 1970; 14)
             Belajar dengan insight (insight learning) sebagai dasar teori Gestalt tercermin dalam tulisan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wolfgang Kohler (1929) dan Kurt Koffka (1929). Kohler melakukan percobaan terhadap seekor chimpanzee (simpanse) yang dimasukkan ke dalam sebuah kandang. Di atas kandang terdapat pisang dengan hanya menjulurkan tangan, pisang tidak dapat dijangkau. Dalam kandang terdapat tiga buah kotak. Dalam situasi demikian, simpanse selalu berupaya untuk menjangkau pisang. Akhirnya ia menemukan hubungan antara dirinya, tiga buah kotak, dan pisang. Dengan menumpukkan ketiga kotak tersebut, ia dapat menjangkau pisang begitu berdiri di atasnya. Kohler menamakan hal ini dengan insight. Insight diperoleh secara tiba-tiba begitu ia menemukan hubungan antara unsur-unsur dalam situasi yang semula merupakan suatu masalah bagi dirinya.
            Max Wartheimer (1945) dan Katona (1940) mencoba mempelajari tentang insight pada manusia. Wartheimer menggambarkan bagaimana siswa dapat memecahkan soal geometri. Dengan hanya mengetahui rumus luas sebuah segiempat, disuruh memecahkan sebuah soal, mencari sebuah luas sebuah jajargenjang. Sementara siswa ada yang mengalihkan panjang dengan lebar (analogi dengan rumus luas segiempat). Tentu hal ini merupakan cara yang salah. Tetapi siswa lain yang dapat melihat inti dari struktur jajargenjang mendapatkan bahwa dengan menarik sebuah diagonal akan didapat dua buah segitiga sama dan sebangun (kongruen). Dengan mencari luas sebuah segitiga dikalikan dua, siswa tersebut memperoleh pemecahan soal. Jadi, insight pada dasarnya dapat pula diperoleh dengan melihat struktur essensial dalam situasi problematis.
            Jika kita kaji lebih jauh, ternyata teori Gestalt itu berlandaskan pada segi kognitif. Sedangkan teori asosiasi berlandaskan pada hubungan S          R. jadi jika dikelompokkan dasar dari teori-teori belajar, kita dapati dua macam landasan, yaitu asosiasi dan kognitif. Pemahaman tentang hal ini dapat membantu dalam meperluas cakrawala wawasan kita Perkembangan kognitif di bagi dalam tiga tahap yaitu tentang mengajar dan belajar.
4.2  Teori Belajar menurut Jerome S.Bruner
            Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dalam teorinya, “free discovery learning” ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan orang tersebut.
            Model pemahaman dari konsep Bruner (dalam Degeng,1989) menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Menurutnya, pembelajaran yang selama ini diberikan di sekolah banyak menekankan pada perkembangan kemampuan analisis, kurang mengembangkan kemampuan berpikir intuitif. Padahal berpikir intuitif sangat penting untuk mempelajari bidang sains, sebab setiap disiplin mempunyai konsep-konsep, prinsip, dan prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang dapat belajar. Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan (discovery learning).
            Bruner menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahapyaitu:
1.      Tahapan Enaktif yaitu tahap jika seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya. (gigitan, sentuhan, pegangan).
2.      Tahapan Ikonikyaitu tahap seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal (anak belajar melalui bentuk perumpamaan dan perbandingan.
3.      Tahapan Simboliktahap seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam berbahasa dan logika.( anak belajar melalui simbol bahasa, logika, matematika).
Beberapa prinsip teori Bruner adalah:
a.       Perkembangan kognitif ditandai dengan adanya kemajuan menaggapi rangsang
b.      Peningkatan pengatahun bergantung pada perkembangan sistem penyimpanan informasi secara realistis
c.       Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau pada orang lain
d.      Interaksi secara sistematis diperlukan antara pembimbing, guru dan anak untuk perkembangan  kognitifnya
e.       Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif
f.       Perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan bebrapa alternatisf secara simultan, memilih tindakan yang tepat.
4.3 Teori Belajar menurut David Ausubel
            Menurut Ausubel, belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa dalam bentuk strukur kognitif. Teori ini banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif yang telah dimiliki siswa.
            Ausubel memisahkan antara belajar bermakna(meaningful learning) dengan belajar menghafal(rote learning). Ketika seorang peserta didik melakukan belajar dengan menghafal, maka ia akan berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna. Hal ini berbeda dengan belajar bermakna, dimana dalam belajar bermakna ini terdapat dua komponen penting, yaitu bahan yang dipelajari, dan struktur kognitif yang ada   pada   individu.   Struktur   kognitif   ini   adalah   jumlah,   kualitas,   kejelasan   dan pengorganisasian dari pengetahuan yang sekarang dikuasai oleh individu.
            Singkatnya,   inti   dari   teori  David   P.   Ausubel   tentang   belajar   adalah   belajar bermakna, yaitu suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Trianto, 2007: 25).
            Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi dari informasi verbal, konsep, kaidah dan prinsip, bila ditinjau bersama-sama. Oleh karena itu belajar dengan prestasi hafalan saja tidak dianggap sebagai belajar bermakna. Maka, menurut Ausubel supaya proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa menemukan sendiri semuanya. Malah, ada bahaya bahwa siswa yang kurang mahir dalam hal ini akan banyak menebak dan mencoba-coba saja, tanpa menemukan sesuatu yang sungguh berarti baginya.
            Seandainya siswa sudah seorang ahli dalam mengadakan penelitian demi untuk menemukan kebenaran baru, bahaya itu tidak ada; tetapi jika siswa tersebut belum ahli, maka bahaya itu ada. Ia juga berpendapat bahwa pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan dalam hal-hal tertentu dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini guru bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan mempresentasikan apa yang perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di sini adalah menguasai yang disampaikan gurunya.
            Belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful learning) yang dikemukakan oleh Ausubel adalah bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Belajar seharusnya merupakan apa yang disebut asimilasi bermakna, materi yang dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya.Untuk itu diperlukan dua persyaratan :
·         Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahuan masa lalu peserta didik.
·         Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang peranan penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Sehingga hal ini perlu diatur oleh guru, agar materi tidak dipelajari secara hafalan.
               Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi.
             Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna daripada kegiatan belajar penerimaan (reception learning). Sehingga dengan ceramah pun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya sistematis, akan dihasilkan belajar yang baik.
            Beberapa Prinsip Teori Ausubel yaitu:
a.       Proses belajar akan terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan yang tlah dimilikinya dengan pengetahuan baru.
b.      Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap memperhatikan stimulus, memamahi makna stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
c.       Siswa lebih ditekankan unuk berpikir secara deduktif (konsep advance organizer).
5. Kelebihan dan Kekurangan dalam Teori – Teori Belajar
5.1  KelebihanTeori Belajar Behaviorisme
1.       Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi   belajar.
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk memperoleh   kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaanyang  mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleksi, daya tahan, dan sebagainya.
2.      Guru tidak banyak memberikan ceramah sehingga muriddibiasakan   belajar mandiri. Jika menemukan kesulitan baru ditanyakan  kepada   guru   yang bersangkutan.
3.      Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi  dan harus dibiasakan, suka meniru  dan  senang dengan bentuk-bentuk   penghargaan   langsung   seperti  diberi permen atau pujian.
5.2 Kekurangan Teori Belajar Behaviorisme
1.      Memandang belajar sebagai kegiatan yang dialami langsung, padahal   belajar adalah kegiatan yang ada dalam sistem syaraf manusia yang tidak terlihat kecuali melalu gejalanya.
2.      Proses belajar dipandang bersifat otomatis-mekanis sehingga terkesan   seperti mesin atau   robot, padahal manusia  mempunyai  kemampuan  self   control yang bersifat kognitif, sehingga, dengan kemampua ini, manusia   mampu menolak kebiasaan yang tidak sesuai dengan dirinya.
3.      Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan hewan sangat sulit  diterima, mengingat ada perbedaan yang cukup mencolok antara hewan dan manusia.
5.3 Kelebihan Teori Belajar Kognitivime
1.      Sebagian besar dalam kurikulum pendidikan negara Indonesia lebih menekankan pada teori kognitif yang mengutamakan pada pengembangan pengetahuan yang dimiliki pada setiap individu.
2.      Pada metode pembelajaran kognitif pendidik hanya perlu memeberikan dasar-dasar dari materi yang diajarkan unruk pengembangan dan kelanjutannya deserahkan pada peserta didik, dan pendidik hanya perlu memantau, dan menjelaskan dari alur pengembangan materi yang telah diberikan.
3.      Dengan menerapkan teori kognitif ini maka pendidik dapat memaksimalkan ingatan yang dimiliki oleh peserta didik untuk mengingat semua materi-materi yang diberikan karena pada pembelajaran kognitif salah satunya menekankan pada daya ingat peserta didik untuk selalu mengingat akan materi-materi yang telah diberikan.
4.      Menurut para ahli kognitif itu sama artinya dengan kreasi atau pembuatan satu hal baru atau membuat suatu yang baru dari hal yang sudah ada, maka dari itu dalam metode belajar kognitif peserta didik harus lebih bisa mengkreasikan hal-hal baru yang belum ada atau menginovasi hal yang yang sudah ada menjadi lebih baik lagi.
5.4 Kekurangan Teori Belajar Kognitivime
1.      Pada dasarnya teori kognitif ini lebih menekankan pada kemampuan ingatan peserta didik, dan kemampuan ingatan masing-masing peserta didik, sehingga kelemahan yang terjadi   di   sini   adalah   selalu   menganggap   semua   peserta   didik   itu   mempunyai kemampuan daya ingat yang sama dan tidak dibeda-bedakan.
2.      Dalam metode ini tidak memperhatikan cara peserta didik dalam mengeksplorasi atau mengembangkan   pengetahuan   dan   cara-cara   peserta   didiknya   dalam   mencarinya, karena pada dasarnya masing-masing peserta didik memiliki cara yang berbeda-beda.
3.      Apabila  dalam   pengajaran  hanya   menggunakan  metode  kognitif,   maka  dipastikan peserta didik tidak akan mengerti sepenuhnya materi yang diberikan.
4.      Jika dalam sekolah kejuruan hanya menggunakan metode kognitif tanpa adanya metode pembelajaran  lain maka  peserta  didik  akan  kesulitan  dalam  praktek  kegiatan  atau materi.
5.      Dalam   menerapkan   metode   pembelajran   kognitif   perlu   diperhatikan   kemampuan peserta didik untuk mengembangkan suatu materi yang telah diterimanya.
6.  Aplikasi Teori – Teori Belajar
6.1 Aplikasi Teori Belajar Behaviorisme
a.       Guru menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap , materi disampaikan secara utuh oleh guru.  Pembelajaran dirancang dan berpijak pada teori behavioristic memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
b.      Guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh- contoh
c.       Bahan pelajaran disusun dari yang sederhana sampai pada yang kompleks
d.      Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati
e.       Kesalahan harus segera diperbaiki
f.       Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan
g.      Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak. 
6.2  Aplikasi Teori Belajar Kognitivisme
            Ada   dua   kajian   mengenai   teori   kognitif   yang   penting   dalam   perancangan pembelajaran, yaitu: (1) teori tentang struktur representasi kognitif, dan (2) proses ingatan (memory). Struktur kognisi didefinisikan sebagai struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang ketika mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit konseptual. Proses ingatan merupakan pengelolaan informasi di dalam ingatan (memory) dimulai dengan proses penyandian informasi (coding), diikuti penyimpanan informasi (strorage), dan kemudian mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah di simpan dalam ingatan (retrieval).
Untuk mengaplikasikannya dalam proses belajar dan pembelajaran meliputi:
a)      Keterlibatan siswa secara aktif amat dipentingkan
b)      Pembelajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun dalam pola dan logika tertentu,
c)      Penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit,
d)     Belajar dengan memahami lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pengertian penyajian, dan
e)      Adanya perbedaan individual pada pembelajar harus diperhatikan.

7. Prinsip-Prinsip Pembelajaran
     Dalam melaksanakan pembelajaran, agar dicapai hasil yang lebih optimal perlu diperhatikan beberapa prinsip pembelajaran. Prinsip pembelajaran bila diterapkan dalam proses pengembangan pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran akan diperoleh hasil yang lebih optimal.
Beberapa prinsip pembelajaran dikemukakan oleh Atwi Suparman (Fillbeck: 1974) sebagai berikut:
a)      Respon-respon baru (new responses) diulang sebagai akibat dari respons yang terjadi sebelumnya. Implikasinya adalah perlunya pemberian umpan balik positif dengan segera atas keberhasilan atau respons yang benar dari siswa; siswa harus aktif membuat respons, tidak hanya duduk diam dan mendengarkan saja.
b)      Perilaku tidak hanya dikontrol oleh akibat dari respons, tetapi juga dibawah pengaruh kondisi atau tanda-tanda di lingkungan siswa. Implikasinya adalah perlunya menyatakan tujuan pembelajaran secara jelas kepada siswa sebelum pelajaran dimulai agar siswa bersedia belajar lebih giat. Juga penggunaan berbagai metode dan media agar dapat mendorong keaktifan siswa dalam proses belajar.
c)      Perilaku yang ditimbulkan oleh tanda-tanda tertentu akan hilang atau berkurang frekuensinya bila tidak diperkuat dengan akibat yang menyenangkan. Implikasinya adalah pemberian isi pembelajaran yang berguna pada siswa di dunia luar ruangan kelas dan memberikan balikan (feedback) berupa penghargaan terhadap keberhasilan mahasiswa. Juga siswa sering diberikan latihan dan tes agar pengetahuan, keterampilan dan sikap yang baru dikuasainya sering dimunculkan pula.
d)     Belajar yang berbentuk respons terhadap tanda-tanda yang terbatas akan ditransfer kepada situasi lain yang terbatas pula. Implikasinya adalah pemberian kegiatan belajar kepada siswa yang melibatkan tanda-tanda atau kondisi yang mirip dengan dunia nyata. Juga penyajian isi pembelajaran perlu diperkaya dengan penggunaan berbagai contoh penerapan apa yang telah dipelajarinya. Penyajian isi pembelajaran perlu menggunakan berbagai media pembelajaran seperti gambar, diagram, film, rekaman audio/video, komputer, serta berbagai metode pembelajaran seperti simulasi, dramatisasi dan lain sebagainya.
e)      Belajar menggeneralisasikan dan membedakan adalah dasar untuk belajar sesuatu yang kompleks seperti yang berkenaan dengan pemecahan masalah. Implikasinya adalah perlu digunakan secara luas bukan saja contoh-contoh yang positif tapi juga yang negatif.
f)       Situasi mental siswa untuk menghadapi pelajaran akan mempengaruhi perhatian dan ketekunan siswa selama proses siswa belajar. Implikasinya adalah pentingnya menarik perhatian siswa untuk mempelajari isi pembelajaran, antara lain dengan menunjukkan apa yang akan dikuasai siswa setelah selesai proses pembelajaran, bagaimana menggunakan apa yang dikuasainya digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana prosedur yang harus diikuti atau kegiatan yang harus dilakukan siswa agar mencapai tujuan pembelajaran dan sebagainya.
g)      Kegiatan belajar yang dibagi menjadi langkah-langkah kecil dan disertai umpan balik menyelesaikan tiap langkah, akan membantu siswa. Implikasinya adalah guru harus menganalisis pengalaman belajar siswa menjadi kegiatan-kegiatan kecil, disertai latihan dan balikan terhadap hasilnya.
h)      Kebutuhan memecah materi yang kompleks menjadi kegiatan-kegiatan kecil dapat dikurangi dengan mewujudkannya dalam suatu model. Implikasinya adalah penggunaan media dan metode pembelajaran yang dapat menggambarkan materi yang kompleks kepada siswa seperti model, realia, film, program video, komputer, drama, demonstrasi dan lain-lain.
i)        Keterampilan tingkat tinggi (kompleks) terbentuk dari keterampilan dasar yang telah sederhana. Implikasinya adalah tujuan pembelajaran harus dirumuskan dalam bentuk hasil belajar yang operasional. Demonstrasi atau model yang digunakan harus dirancang agar dapat menggambarkan dengan jelas komponen-komponen yang termasuk dalam perilaku/keterampilan yang kompleks itu.
j)        Belajar akan lebih cepat, efisien dan menyenangkan bila siswa diberi informasi tentang kualitas penampilannya dan cara meningkatkannya. Urutan pembelajaran harus dimulai dari yang sederhana secara bertahap menuju kepada yang lebih kompleks; kemajuan siswa dalam menyelesaikan pembelajaran harus diinformasikan kepadanya.
k)      Perkembangan dan kecepatan belajar siswa sangat bervariasi, ada yang maju dengan cepat ada yang lebih lambat. Implikasinya adalah pentingnya penguasaan siswa terhadap materi prasyarat sebelum mempelajari materi pembelajaran selanjutnya; siswa mendapat kesempatan maju menurut kecepatan masing-masing.
l)        Dengan persiapan, siswa dapat mengembangkan kemampuan mengorganisasikan kegiatan belajarnya sendiri dan menimbulkan umpan balik bagi dirinya sendiri untuk membuat respons yang benar. Implikasinya adalah pemberian kemungkinan bagi siswa untuk memilih waktu, cara dan sumber-sumber disamping yang telah ditentukan, agar dapat membuat dirinya mencapai tujuan pembelajaran.
     Melihat ke-12 prinsip pembelajaran yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam pembelajaran merupakan pekerjaan yang kompleks, namun bila dilakukan dengan seksama diharapkan dapat tercipta kegiatan pembelajaran yang efektif dan efisien.
Dalam buku Condition of Learning, (Gagne: 1977) mengemukakan sembilan prinsip yang dapat dilakukan guru dalam melaksanakan pembelajaran sebagai berikut:
1)      Menarik perhatian (gaining attention): hal yang menimbulkan minat siswa dengan mengemukakan sesuatu yang baru, aneh, kontradiksi atau kompleks.
2)      Menyampaikan tujuan pembelajaran (Informing learner of the objectives): memberitahukan kemampuan yang harus dikuasai siswa setelah selesai mengikuti pelajaran.
3)      Meningkatkan konsep/prinsip yang telah dipelajari (stimulating reall of prior learning): merangsang ingatan tentang pengetahuan yang telah dipelajari yang menjadi prasyarat untuk mempelajari materi yang baru.
4)      Menyampaikan materi pelajaran (presenting the stimulus): menyampaikan materi-materi pembelajaran yang telah direncanakan.
5)      Memberikan bimbingan belajar (providing leaner guidance): memberikan pertanyaan-pertanyaan yang membimbing proses/alur berpikir siswa agar memiliki pemahaman yang lebih baik.
6)      Memperoleh kinerja/penampilan siswa (eliciting performance): siswa diminta untuk menunjukkan apa yang telah dipelajari atau penguasaannya terhadap materi.
7)      Memberikan balikan (providing feedback): memberitahu seberapa jauh ketepatan performance siswa.
8)      Menilai hasil belajar (assessing performance): memberikan tes/tugas untuk mengetahui seberapa jauh siswa menguasai tujuan pembelajaran.
9)      Memperkuat retensi dan transfer belajar (enhancing retention and transfer): merangsang kemampuan mengingat-ingat dan mentransfer dengan memberikan rangkuman, mengadakan review atau mempratikkan apa yang telah dipelajari.
8. Paradigma Pembelajaran
1. Pembelajaran menurut Paradigma Konstruktivistik
Sebuah paradigma yang mapan yang berlaku dalam sebuah system boleh jadi mengalami malfungsi apabila paradigma tersebut masih diterapkan pada sistem yang telah mengalami perubahan. Paradigma yang mengalami anomaly tersebut cenderung menimbulkan krisis. Krisis tersebut akan menuntut terjadinya revoluasi ilmiah yang melahirkan paradigm baru dalam rangka mengatasikrisis yang terjadi (Kuhn, 2002). Paradigma konstruktivistik tentang pembelajaran merupakan paradigm alternatif yang muncul sebagai akibat terjadinya revolusi ilmiah dari system pembelajaran yang cenderung berlaku pada abad industrike system pembelajaran yang semestinya berlaku pada abad Pengetahuan sekarang ini. Menurut paradigma konstruktivistik, ilmu pengetahuan bersifat sementara terkait dengan perkembangan yang dimediasi baik secara social maupun kultural, sehingga cenderung bersifat subyektif. Belajar menurut pandangan ini lebih sebagai proses regulasi diri dalam menyelesikan konflik kognitif yang sering muncul melalui pengalaman konkrit, wacanakolaboratif, daninterpretasi. Belajar adalah kegiatan aktif siswa untuk membangun pengetahuannya. Siswa sendiri yang bertanggung jawab batas peristiwa belajar dan hasil belajarnya. Siswa sendiri yang melakukan penalaran melalui seleksi dan organisasi pengalaman serta mengintegrasikannya dengan apa yang telah diketahui. Belajar merupakan proses negosiasi makna berdasarkan pengertian yang dibangun secara personal. Belajar bermakna terjadi melalui refleksi, resolusi konflik kognitif, dialog, penelitian, pengujian hipotesis, pengambilan keputusan, yang semuanya ditujukan untuk memperbaharui tingkat pemikiran individu sehingga menjadi semakin sempurna.  Paradigma konstruktivistik merupakan basis reformasi pendidikan saat ini. Menurut paradigma konstruktivistik, pembelajaran lebih mengutamakan penyelesaian masalah, mengembangkan konsep, konstruksi solusi dana logaritma ketimbang menghafal prosedur dan menggunakan nyauntuk memperoleh satu jawaban benar. Pembelajaran lebih di cirikan oleh aktivitas eksperimentasi, pertanyaan-pertanyaan, investigasi, hipotesis, dan model model yang dibangkitkan oleh siswa sendiri. Secara umum, terdapat lima prinsip dasar yang melandasi kelas konstruktivistik, yaitu (1) meletakkan permasalahan yang relevan dengan kebutuhan siswa, (2) menyusun pembelajaran di sekitar konsep-konsep utama, (3) menghargai pandangan siswa, (4) materi pembelajaran menyesuaikan terhadap kebutuhan siswa, (5) menilai pembelajaran secara kontekstual. Hal yang lebih penting, bagaimana guru mendorong dan menerima otonomi siswa, investigasi bertolak dari data mentah dan sumber-sumber primer (bukanhanyabukuteks), menghargai pikiran siswa, dialog, pencarian, danteka-teki sebagai pengarah pembelajaran. Secara tradisional, pembelajaran telah dianggap sebagai bagian “menirukan”suatu proses yang melibatkan pengulangan siswa, atau meniru-niru informasi yang baru disajikan dalam laporan atau quis dantes. Menurut paradigm konstruktivistik, pembelajaran lebih diutamakan untuk membantu siswa dalam menginternalisasi, membentuk kembali, atau mentransformasi informasi baru. Untuk menginternalisasi serta dapat menerapkan pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik, terlebih dulu guru diharapkan dapat merubah pikiran sesuai dengan pandangan konstruktivistik. Guru konstruktivistik memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1.      Menghargai otonomi dan inisiatif siswa.
2.      Menggunakan data primer dan bahan manipulative dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.
3.      Mengutamakan kinerja siswa berupa mengklasifikasi, mengananalisis, memprediksi, dan mengkreasi dalam mengerjakan tugas.
4.      Menyertakan respon siswa dalam pembelajaran dan mengubah model atau strategi pembelajaran sesuaidengankarakteristikmateripelajaran.
5.      Menggali pemahaman siswa tentang konsep-konsep yang akan dibelajarkan sebelum
6.      Mengelaborasi respon awal siswa.
7.      Menyertakan siswa dalam pengalaman-pengalaman yang dapat menimbulkan kontra diksi terhadap hipotesis awal mereka dan kemudian mendorong diskusi.
8.      Menyediakan kesempatan yang cukup kepada siswa dalam memikirkan dan mengerjakantugas-tugas.
9.      Menumbuhkan sikap ingin tahu siswa melalui penggunaan  model pembelajaran  yang beragam.

A.    Pendapat Penulis
Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme   memandang   individu   hanya   dari   sisi   fenomena   jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Teori behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.
            Teori Kognitivisme adalah tentang bagaimana manusia memproses dan menyimpan informasi   sangat   penting   dalam   proses   belajar.  Model   kognitif   ini   memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada.




























Tidak ada komentar:

Posting Komentar